Bagikan:

JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan, pembuatan dakwaan dugaan suap penghapusan red notice dengan terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte, merujuk pada berkas perkara penyidikan. 

"Dasar pembuatan surat dakwaan adalah berkas perkara," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Hari Setiyono kepada VOI, Rabu, 4 November.

Ditanya soal kemungkinan adanya dakwaan baru yang belum tercantum pada berkas perkara sekarang, Hari tak berkomentar banyak. Dia menyebut, penyusunan dakwaan berlandaskan hasil berkas penyidikan.

"Sebaiknya tidak berandai-andai tetapi fakta," tegas dia.

"Sekali lagi dasar pembuatan surat dakwaan itu berkas perkara dan itu yang harus dibuktikan JPU," tandas dia.

Dalam persidangan perkara dugaan suap penghapusan red notice muncul fakta baru. Saat pembacaan dakwaan, jaksa menyebut, Irjen Napoleon didakwa meminta jatah suap sebesar Rp7 miliar ke Joko Tjandra. Uang tersebut sebagian akan diberikan kepada 'petingginya'.

Polri menyebut, perihal itu tidak pernah muncul dalam proses penyidikan. Pengakuan dari Irjen Napoleon itupun tidak tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

"Jadi gini, apa yang disampaikan saudara tersangka NB di pengadilan kemarin itu sudah saya konfirmasi kepada penyidik, tidak ada di dalam BAP," ujar Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono kepada wartawan, Selasa, 3 November.

Awi bilang, dakwaan itu muncul tanpa sepengetahuan Polri. Dakwan itu diduga merupakan hasil pemeriksan jaksa. Sebab, jaksa memiliki hak untuk memeriksa ulang tersangka. 

"Tapi begini, JPU itu berhak memeriksa ulang. Kalau memang ada sesuatu yang belum jelas, diperiksa bisa. Tapi dari penyidiknya saya tanyakan begitu," kata dia.

Sebelumnya, Irjen Bonaparte Napoleon dalam surat dakwaan disebut, awalnya meminta uang senilai Rp3 miliar terkait pengurusan penghapusan red notice Joko Tjandra. Hal itu disampaikan Napoleon saat bertemu dengan orang dekat Joko Tjandra Tommy Sumardi.

"Tommy Sumardi menanyakan berapa (nominal uangnya), dan oleh Terdakwa Irjen Pol Drs. Napoleon Bonaparte. M.Si., dijawab "3 lah, Ji (3 milliar)"," kata Jaksa Penuntut Umum saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, 2 November.

 

Mendengar permintaan ini, Tommy Sumardi menghubungi Sekretaris Joko Tjandra, Nurmawan Fransisca untuk menyiapkan uang sebesar 100 ribu dolar AS. Setelah uang diterima, pada tanggal 27 April 2020, Tommy Sumardi bersama Brigjen Prasetijo Utomo ke kantor Napoleon untuk menyerahkan uang itu.

Namun, Napoleon menolak uang itu. Apalagi, uang itu tinggal 50 ribu dolar AS. Di mana 50 ribu dolar AS diambil oleh Prasetijo. Napoleon pun meminta merubah kesepakatan awal dari Rp3 miliar menjadi Rp7 miliar. Menurut dia, uang sebanyak itu tidak hanya untuk dirinya sendiri.

"Terdakwa Irjen Pol Drs. Napoleon Bonaparte, M.Si., tidak mau menerima uang dengan nominal tersebut dengan mengatakan 'ini apaan nih segini, enggak mau saya. Naik Ji jadi 7 (tujuh) Ji, soalnya kan buat depan juga bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau', dan berkata 'petinggi kita ini'," kata jaksa membacakan dakwaan.