JAKARTA - Ahli hukum dari Universitas Indonesia Prof Agus Sardjono mengatakan hak ekonomi dan hak moral yang ada di Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta tidak bisa dipisahkan karena merupakan satu kesatuan.
"Keduanya satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan sebagaimana layaknya dua mata uang yang sama," kata Prof. Agus Sardjono yang didatangkan sebagai ahli oleh pemerintah saat sidang pengujian UU Hak Cipta di Mahkamah Konstitusi yang disiarkan secara virtual di Jakarta, Selasa 5 Juli.
Dalam perkara Nomor 63/PUU-XIX/2021 ini, Prof Agus Sardjono menjelaskan meskipun di dalam Undang-Undang Hak Cipta terdapat bab khusus yang mengatur hak moral dan hak ekonomi secara terpisah, bukan berarti keduanya dapat dipisahkan.
Pemisahan yang termuat dalam bab tersebut hanya sekadar untuk mengatur apa saja yang termasuk hak moral dan hak ekonomi. Sebagai contoh, dalam hak moral terdapat pengaturan untuk mengubah ciptaan.
Ketika ada seseorang yang mengubah karya tulis menjadi sinematografi seperti novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang kemudian dijadikan sebuah film, maka pengubahan itu harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari penulis novel.
Tentu saja, sambung dia, pengubahan tersebut dibarengi pembayaran dengan nilai tertentu dan berarti menyangkut faktor ekonomi.
BACA JUGA:
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, pengubahan itu disebut sebagai adaptasi atau transformasi yang diatur dalam substansi hak ekonomi.
Pengubahan itu sendiri terbagi atas dua kategori yaitu pengubahan bentuk dan isi ciptaan. Untuk pengubahan bentuk sebagaimana contoh di atas yakni dari novel menjadi film.
Sedangkan pengubahan isi ciptaan dapat berupa terjemahan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia atau sebaliknya. Khusus terjemahan juga diatur secara jelas pada Pasal 9 Ayat 1 C Undang-Undang Hak Cipta yang menyatakan penyatuan hak moral untuk mendapatkan hak ekonomi dari pengubahan itu sendiri.
Dalam konteks musik, pengubahan isi ciptaan juga dapat dilakukan. Misalnya pengubahan genre musik dari rock ke musik dangdut. Sama halnya dengan mengubah novel menjadi film, pengubahan genre musik juga harus mendapat izin dari pencipta.
"Jika izin itu diberikan maka biasanya diikuti imbalan ekonomi berupa pembayaran sejumlah royalti," tandasnya