Komisi III DPR: Masyarakat Perlu Pahami Wacana Ganja Medis dan UU
Taufik Basari/DOK ANTARA

Bagikan:

JAKARTA - Anggota Komisi III DPR Taufik Basari meminta masyarakat  memahami diskursus narkotika jenis ganja berdasarkan Undang-Undang, khususnya untuk kepentingan medis dengan standar pengobatan.

"Masyarakat perlu mengetahui bahwa secara hukum dan berdasarkan UU Narkotika, sebenarnya narkotika merupakan obat. Namun karena terdapat efek samping, jika tidak digunakan dengan standar pengobatan yang tepat maka dari itu diaturlah golongan-golongan narkotika," ujar Taufik Basari kepada wartawan, Senin, 4 Juli. 

Taufik menjelaskan soal kategori golongan narkotika. Golongan I, adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Sedangkan golongan II, adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Sementara golongan III, adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

"Berdasarkan Peraturan Menteri Kesahatan (Permenkes) yang menjadi lampiran UU, sejak dahulu hingga yang terakhir thn 2021, ganja dan seluruh produk turunannya ditempatkan sebagai narkotika golongan 1 yang hanya dapat digunakan untuk riset dan tidak dapat untuk terapi kesehatan," jelas Taufik.

Politikus NasDem itu mengatakan, pasien seperti anak dari ibu Santi Warastuti bernama Pika yang menderita cerebal palsy tidak dapat menggunakan ganja untuk pengobatan. Bahkan dalam kasus Fidelis Arie, yang memberikan ganja untuk pengobatan istrinya harus berakhir pada proses hukum.

"Peristiwa yang dialami Ibu Santi dan Ibu Dwi Pertiwi yang memperjuangkan pengobatan anaknya serta Fidelis yang membantu pengobatan istrinya hingga harus berhadapan dengan hukum merupakan masalah kemanusiaan yang harus dicarikan jalan keluarnya," kata pria yang akrab disapa Taubas itu.  

Karena itu, Taubas meminta semua pihak tidak berpandangan konservatif dalam merumuskan kebijakan narkotika. Jika terdapat penelitian yang menunjukkan turunan dari tanaman ganja dapat digunakan sebagai pengobatan, kata dia, maka semua pihak harus memiliki pikiran terbuka untuk merumuskan perubahan kebijakan.

"Selama ini ketika ada yang mengangkat isu tentang ganja untuk kebutuhan medis seringkali langsung mendapatkan stigma dan diberikan berbagai macam tuduhan," paparnya.

Taubas berharap, semua pihak juga dapat mendukung penelitian yang dilakukan oleh Kemenkes untuk mengkaji hal ini.

"Penelitian tidak harus dilakukan dari awal karena sebelumnya telah terdapat penelitian dari berbagai negara termasuk dari komite expert di bawah PBB yang dapat dijadikan rujukan penelitian lanjutan," katanya.

Taubas menambahkan, saat ini Komisi III DPR tengah dilakukan pembahasan revisi UU Narkotika. Segala informasi baik berupa hasil penelitian ahli maupun keterangan masyarakat seperti dari ibu Santi dan ibu Dwi, kata dia, akan menjadi bahan masukan revisi UU Narkotika.

Dia juga berharap, Revisi UU Narkotika dapat mengubah paradigma kebijakan narkotika selama ini yang selalu menempatkan persoalan narkotika sebagai persoalan hukum dan penegakan hukum semata.

"Padahal justru yang harus dikedepankan adalah penanganan kebijakan kesehatannya. Hukum digunakan untuk pihak-pihak yang memanfaatkan narkotika untuk kejahatan, sementara pendekatan kesehatan digunakan untuk kemanfaatan dan kemanusiaan serta menyelamatkan anak bangsa yang menjadi korban dari penyalahgunaan narkotika," kata Taubas.