Perpres Supervisi Diteken Jokowi, ICW Minta KPK Ambil Alih Kasus Mangkrak di Kepolisian Maupun Kejaksaan
Lambang Komisi Pemberantasan Korupsi. (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera melakukan supervisi atau mengambil alih kasus korupsi yang mangkrak di kepolisian maupun kejaksaan. Hal ini disampaikan oleh peneliti ICW Kurnia Ramadhana untuk menanggapi terbitnya Perpres Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"ICW mengingatkan kepada KPK agar dapat fokus juga pada supervisi kasus-kasus mangkrak pada supervisi kasus-kasus mangkrak pada penegak hukum lain baik kepolisian dan kejaksaan. Jika memang tidak ada perkembangan yang signifikan maka KPK harus mulai mengambil inisiatif untuk mengambil alih penanganan perkara tersebut," kata Kurnia seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Kamis, 29 Oktober.

Adapun kasus yang didorong ICW agar disupervisi oleh KPK kasus Joko Tjandra yang saat ini tengah ditangani oleh Kejaksaan Agung dan Polri. Dorongan ini muncul karena sejak September lalu, lembaga antirasuah itu telah mengeluarkan surat perintah supervisi dan masih ada beberapa hal yang belum diungkap seperti apakah ada oknum jaksa lain yang terlibat dalam kasus tersebut selain Pinangki Sirna Malasari atau Jaksa Pinangki.

Selain itu, Kurnia juga menganggap pengurusan fatwa Joko Tjandra di Mahkamah Agung sampai saat ini belum lengkap ditelusuri. "Siapa saja yang terlibat? Apakah hanya Pinangki atau sebenarnya ada juga oknum di internal MA yang turut membantu? Kemudian selain Andi Irfan Jaya, apakah ada politisi lain yang juga terlibat dalam perkara ini?" tanya dia.

Sejumlah hal yang dia sebutkan itu, katanya, harusnya didalami oleh KPK dengan mempertanyakan perkembangannya pada Kejaksaan Agung maupun pihak kepolisian.

"Jika jawaban sekadar normatif atau ada upaya melindungi pihak tertentu maka selayaknya KPK dapat mengambil alih seluruh penanganan yang ada pada Kejaksaan Agung atau kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Ayat 1 Perpres Supervisi," tegasnya.

Pegiat antikorupsi ini menilai, dengan terbitnya Perpres ini maka Kejagung dan Polri harus bersikap kooperatif jika KPK sedang melakukan supervisi.

"ICW berharap hal yang dilakukan Kejaksaan Agung saat menangani perkara Pinangki tak kembali terulang. Salah satu contohnya adalah ketika Kejaksaan Agung diduga tidak melakukan koordinasi kepada KPK saat melimpahkan perkara ke pengadilan. Praktik ini ke depan tak boleh lagi terjadi," ungkapnya.

Diketahui, Perpres Nomor 102 Tahun 2020 tersebut diterbitkan setelah ditandatangani Jokowi pada 20 Oktober lalu. Pada Pasal 2 beleid ini, KPK diberi kewenangan untuk melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenangan menangani tindak kejahatan korupsi. 

Selanjutnya, dalam Pasal 5 dijelaskan kegiatan supervisi ini bisa dilakukan dalam bentuk pengawasan, penelitian, dan penelaahan. Saat proses supervisi ini berlangsung, KPK bisa didaampingi oleh perwakilan Bareskrim Polri dan/atau Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Korupsi dari Kejaksaan Agung.

Berikutnya pada Pasal 9 disebutkan setelah supervisi terhadap suatu kasus korupsi dilakukan, maka KPK punya kewenangan untuk mengambil alih perkara korupsi tersebut.

"Dalam hal KPK melakukan pengambilalihan perkara dalam tahap penyidikan dan/atau penuntutan, instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tipikor wajib menyerahkan tersangka dan/atau terdakwa dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan paling lama 14 hari, terhitung sejak tanggal permintaan KPK," bunyi Pasal 9 ayat 3 Perpres Supervisi yang diunggah di situs resmi Sekretariat Negara.