JAKARTA - Pola belajar yang digunakan pada anak-anak Suku Asmat tidak bisa disamakan dengan anak sekolah lain pada umumnya. Anak-anak suku Asmat ikut bekerja membantu orang tua.
"Karena suka ikut bekerja orang tuanya, mereka jadi mandiri duluan. Biasa mencari uang sendiri untuk makan (selama ditinggal pergi orang tuanya)," ucap Plt. Kadisdik Kabupaten Asmat, Papua Barbalina Toisuta di Kota Agats, Rabu 22 Juni dinukil dari Antara.
Anak-anak di Suku Asmat tidak suka berdiam diri lama di kelas. Kebiasaan itu terbentuk akibat sering mengikuti orang tua pergi bekerja di hutan untuk mencari gaharu (pohon dengan bau wangi yang khas).
Anak di Suku Asmat cenderung menyukai bermain dan belajar di ruang terbuka, ujarnya.
Jadi, kalau menerapkan metode pembelajaran secara umum yang mengharuskan siswa duduk tiga sampai empat jam di dalam kelas justru membuat anak cepat bosan dan lelah.
“Mereka lebih senang belajar di luar. Itu jadi kreasi guru untuk membawa mereka belajar keluar walaupun tentang macam-macam pelajaran itu,” kata Barbalina.
Untuk lokasinya, anak-anak suka menghabiskan waktu di dekat sungai dengan memancing dan berenang bersama.
Barbalina melanjutkan dikarenakan mengikuti pekerjaan orang tua dan jumlah PAUD di kampung tidak banyak, anak langsung duduk belajar di bangku sekolah dasar (SD) sehingga banyak yang tidak dapat membaca, menghitung dan menulis dengan baik.
Oleh karenanya, baik pemerintah daerah maupun kabupaten membuat lebih banyak kreasi dalam mengajar untuk meningkatkan minat baca anak. Seperti berdirinya perpustakaan di kampung serta membuat program 15 menit membaca sebelum masuk kelas.
“Ada juga kreasi guru untuk buat pojok membaca. Saya kemarin ke Akat ada beberapa sekolah memang sudah ada kreasi guru untuk minat membaca,” ujar dia.
BACA JUGA:
Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Asmat Robertus Kirwelakubun menyebutkan terdapat lebih dari 200 kampung di kabupaten itu, namun hanya ada sekitar 10 PAUD bagi anak-anak.
Total sekolah yang ada di Kabupaten Asmat sendiri berjumlah 136 untuk SD, SMP 19, lima SMA dan satu SMK. Dari kampung, anak harus melalui panjangnya sungai untuk bersekolah.
Robertus menambahkan walaupun anak ikut orang tuanya bekerja, tidak akan dikeluarkan dari sekolah karena seringkali anak akan hadir kembali ke kelas ketika jenuh ikut bekerja.
“Anak sudah dicatat sebagai siswa, nanti kalau bosan (bekerja) masuk sekolah lagi. Jadi kalau orang tua di kampung ya mereka di kampung, kalau tidak ya mereka tidak ada,” kata Robertus.