JAKARTA - Survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis pada Minggu, 25 Oktober menyatakan, sebanyak 47,7 persen responden menyatakan agak setuju bahwa warga makin takut menyatakan pendapat dan 57,7 persen responden menganggap aparat makin semena-mena menangkap mereka yang berbeda pandangan politiknya dengan penguasa.
Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus A.T. Napitupulu mengatakan, survei ini harus menjadi tamparan buat pemerintah dalam menghadapi demonstrasi dari masyarakat.
"Survey Indikator Politik yang menujukkan terjadi penurunan penilaian terhadap kebebasan sipil di Indonesia dan kecenderungan represifitas aparat harusnya menjadi tamparan bagi pemerintah Indonesia saat ini. Karena terjadi pelanggaran terhadap konsititusi yaitu Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan jaminan penegakan dan perlindungan hak asasi manusia dengan prinsip negara hukum yang demokratis," kata Erasmus seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Rabu, 28 Oktober.
ICJR mencatat, aparat kerap melakukan tindakan represif dan tidak melihat batasan kewenangan mereka yang diatur dalam perundang-undangan. Salah satu buktinya adalah ketika aksi Omnibus Law Cipta Kerja Oktober 2020.
Berdasarkan data Koalisi Reformasi Sektor Keamanan, Erasmus mengatakan, aparat kepolisian dilaporkan menggunakan kekuatan secara berlebihan. Polisi, sambungnya, juga dianggap melakukan penangkapan sewenang-wenang tanpa adanya proses hukum karena per 26 Oktober, Polda Metro Jaya melaporkan telah menangkap 2.667 orang dalam 3 aksi demonstrasi menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja pada 8 Oktober, 13 Oktober, dan 20 Oktober.
"Dari angka itu, bahkan diketahui 70 persen yang ditangkap merupakan pelajar dan di bawah umur. Maka perlakuan harus diberikan secara khusus kepada anak dalam ruang pelayanan khusus dan harus dilakukan penghindaran penahanan dan upaya-upaya represif lainnya. Diketahui juga aparat melakukan tindakan berlebihan terhadap warga, polisi melakukan penggeledahan, penyitaan dan pengaksesan tanpa dasar terhadap telepon genggam," ungkapnya.
Erasmus juga menyoroti laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia yang mencatat ada 56 jurnalis yang jadi korban tindak kekerasan oleh aparat kepolisian saat meliput aksi demonstrasi pada 7 Oktober hingga 21 Oktober.
"Akses bantuan hukum pun dihalang-halangi oleh kepolisian. Tindakan sewenang-wenang ini jelas bukan yang pertama kalinya terjadi, hal yang sama terjadi pada demonstrasi #ReformasiDikorupsi September 2019 lalu, aksi pada masa pemilu Mei 2019 lalu dan banyak lainnya," jelasnya.
Sehingga, melihat fakta di atas, Erasmus kemudian mendesak pemerintah dan DPR RI untuk mempercepat perbaikan substansial hukum acara pidana di Indonesia.
"RKUHAP yang saat ini telah masuk dalam daftar Prolegnas DPR periode 2020-2024 perlu menjamin adanya pengetatan pengawasan, membentuk sistem akuntabilitas yang kuat bagi institusi aparat penegak hukum yang menjalankan proses penyidikan-penuntutan, RKUHAP harus secara ketat mengatur larangan permanen penggunaan kantor-kantor kepolisian sebagai tempat penahanan dan penahanan harus dilakukan pada institusi lain untuk menjamin adanya pengawasan bertingkat," tegasnya.
RKUHAP ini, sambung Erasmus, juga perlu mengatur ulang hukum pembuktian dan jenis-jenis alat bukti supaya tidak lagi bertumpu pada pengakuan yang mana merupakan akar dari penyiksaan. Selain itu, perlu ada upaya memperkuat hak-hak tersangka maupun terdakwa khususnya hak pendampingan hukum untuk menjamin pemberian bantuan hukum yang efektif.
Tak hanya itu, dia menilai, Indonesia masih memuat hukum materil yang represif dan bertentangan dengan semangat perlindungan kebebasan sipil terutama dalam iklim demokrasi yang modern. Adapun hukum materil yang dimaksudnya adalah UU ITE yang meskipun sudah direvisi tapi memuat pasal karet yang berujung menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat.
"Lebih spesifik pengaturan penghinaan di Pasal 27 ayat (3) yang tidak memperhatikan batasan tentang penghinaan dalam KUHP. Sebuah institusi negara pada Agustus 2020 pernah secara terang-terangan menggunakan pasal ini untuk menakut-nakuti seseorang atas ekspresi kritik terhadap pimpinan institusi tersebut," katanya.
Kemudian, Surat Telegram Nomor ST/1099/IV/HUK.7.1/2020 yang dikeluarkan Polri di tengah pandemi COVID-19 juga memberikan ruang tindak represif karena berisi instruksi bagi penyidik untuk mengantisipasi kasus ujaran kebencian dan penyebaran hoaks dan kasus penghinaan kepada penguasa seperti Presiden dan pemerintah yang terjadi selama situasi pandemi COVID-19.
Instruksi tersebut seharusnya tidak bisa digunakan untuk ekspresi kritik, menurut Erasmus. Namun pada praktiknya, hal ini sering digunakan untuk menjerat pengkritik yang seharusnya menjadi inti dari negara demokrasi.
Sehingga berkaca dari kejadian ini, dirinya menilai, Indonesia sebagai negara demokrasi pancasila yang menjunjung perlindungan hak asasi manusia harus mulai berbenah.
"Pengawasan terhadap aparat penegakan hukum harus diperketat. Salah satunya dengan mempercepat reformasi subtansial hukum acara pidana lewat pembaruan KUHAP dan memperbaiki hukum pidana materil yang memuat pasal karet, yang utama UU ITE yang terus memakan korban, dan menghadirkan ketakutan di masyarakat. Pemerintah dan DPR juga perlu secara khusus melakukan reformasi di tubuh aparat penegak hukum, khususnya penggunaan pasal-pasal pidana seperti ujaran kebencian, berita bohong, makar, dan penghinaan individu dengan tujuan membungkam ekspresi yang sah," pungkasnya.