Bagikan:

JAKARTA - Badan Intelijen Negara (BIN) membantah dalam penggunaan mortir dari Serbia dalam serangan ke beberapa desa di Papua pada 2021. Laporan penggunaan mortir disampaikan kelompok pemantau yang berbasis di London, Conflict Armament Research (CAR) sebagaiman ditulis Reuters, Kamis, 16 Juni lalu. 

Dalam laporan kelompok pemantau senjata serta foto yang diberikan ke Reuters disebutkan, hampir 2.500 mortir dari Serbia yang dibeli dan dijatuhkan dari udara ke delapan desa di Papua. Pembelian tersebut juga disebut tidak dilaporkan ke DPR RI.

Deputi II BIN yang membidangi keamanan dalam negeri, Mayjen Edmil Nurjamil membantah keras laporan dan menyebut itu hanya hoaks. BIN tidak memiliki senjata yang dimaksud. 

“Enggak, enggak ada. Iya kita enggak punya itu," terangnya kepada awak media di Kantor Kemendagri beberapa waktu lalu. Edmil bilang, senjata artileri yang ditemukan di Papua milik TNI. Dan BIN, tegasnya, tidak pernah membeli mortir dari Serbia. "Nggaklah. Ya itu kan pangdamnya sudah mengakui itu senjata TNI. Kita nggak main-main begitu. Panglima Kodam itu. Kan sudah menyampaikan yang bulan apa itu," tegasnya.

Pengamat intelijen dan keamanan Stanislaus Ryanta turut bersuara soal ini. Dia meyakini bahwa BIN tak mungkin memiliki senjata pemusnah. Sebab tugas BIN adalah mengumpulkan informasi bukan melakukan operasi militer.

"Semua orang tahu itu. Informasi soal penggunaan mortir itu jelas tudingan yang kejam dengan strategi disinformasi yang menyesatkan,” tegas Stanislaus Ryanta saat dihubungi di Jakarta, Sabtu, 18 Juni.

Stanis bahkan menyebut itu hoaks. Apalagi beberapa waktu lalu simpatisan dan pendukung separatisme di Papua juga menyebarkan video suntingan yang bermaksud menyudutkan pemerintah Indonesia. Faktanya, video itu hasil suntingan, bukan fakta.

“Yang kita sayangkan hoaks macam ini dilakukan secara sistematis untuk merusak citra institusi negara yang jelas-jelas telah bekerja keras untuk menjaga keamanan negara”, lanjutnya. 

Dia melanjutkan, penyebaran hoaks dengan isu penggunaan senjata pemusnah massal di Papua merupakan bagian dari strategi perjuangan kaum separatis di manapun berada, termasuk Papua.

“Ada yang namanya active measures. Itu suatu strategi perang politik yang dalam sejarahnya dulu digunakan Uni Soviet pada dekade 1920an. Kelompok separatis di dunia sering menerapkan strategi ini. Ada skenario disinformasi, propaganda, desepsi, sabotase, dan sebagainya. Saya melihat ini juga dipakai banyak orang untuk mendukung Papua Merdeka”, katanya.  

"Pendukung separatis sudah terbiasa menyebarkan propaganda dan hoaks untuk menyudutkan otoritas negara dan mencari dukungan dunia internasional. Karena memang begitulah caranya mereka berjuang," ucapnya. 

Kembali ke laporan CAR, mortir itu diproduksi oleh pembuat senjata milik negara Serbia Krusik dan kemudian dimodifikasi untuk dijatuhkan dari udara ketimbang dari tabung mortir. Dikatakan senjata yang dikirim ke BIN juga termasuk 3.000 inisiator elektronik dan tiga alat pengatur waktu yang biasanya digunakan untuk meledakkan bahan peledak.

Peluru mortir 81mm digunakan dalam serangan pada bulan Oktober di desa-desa di Papua, sebuah provinsi di Indonesia di mana kampanye selama puluhan tahun oleh separatis bersenjata telah dipercepat dalam beberapa tahun terakhir.