Bagikan:

JAKARTA - Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Kejagung) Ali Mukartono menunggu hasil penyidikan Polri terkait kasus dugaan pidana korupsi terkait dengan kesepakatan pembelian cairan Top Cleaner antara pejabat pembuat komitmen (PKK) dengan PT ARM.

Pengadaan cairan pembersih itu sudah berlangsung selama dua tahun di Kejaksaan Agung. Cairan tersebut dianggap sebagai faktor yang membuat api cepat menjalar pada perkara kebakaran gedung Kejagung beberapa waktu lalu. 

"Saya belum melihat korupsinya di mana. Kita tunggu saja. Memang kalau ada nanti pihak penyidik Polri ada data diserahkan ya kita telaah," kata ucap Ali kepada wartawan, Selasa, 27 Oktober.

Ali menerangkan, kerja sama antara PPK dengan PT ARM merupakan kewenangan Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan (Jambin). Karenanya, dia mengatakan untuk mengonfirmasi perihal pengadaan Top Cleaner ini ke sana.

"Saya tidak tahu. Bukan di saya, prosesnya di sana. Cek saja, tanya Jambin," kata dia.

 

Bareskrim Polri sebelumnya mengungkap, cairan pembersih Top Cleaner yang dipakai Kejaksaan Agung tidak memiliki izin edar. Hal ini diketahui dari hasil pemeriksaan yang dilakukan kepolisian.

"Setelah kami dalami dust cleaner ini tidak memiliki izin edar, sehingga penyidik menyimpulkan bahwa dengan adanya kegiatan pengadaan bahan alat pembersih lantai ini yang tidak sesuai dengan ketentuan," kata Direktur Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Ferdy Sambo kepada wartawan, Jumat, 23 Oktober.

Menurut dia, pejabat pembuat komitmen (PPK) Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah melakukan kerja sama dengan PT ARM selaku produsen cairan pembersih Top Cleaner sejak 2018.

Kesepakatan penggunaan cairan pembersih ilegal itu diduga karena harganya yang murah. Padahal, kandungan pada cairan pembersih itu juga sangat berbahaya.

"Harusnya tahu (berbahaya). Makanya harusnya jangan digunankan tapi dia gunakan, mungkin harganya murah," kata dia.

Dalam perkara kebakaran gedung ini, 8 orang ditetapkan sebagai tersangka. 5 di antaranya merupakan pekerja bangunan berinisial T, H, S, K, dan IS. Mereka ditetapkan tersangka karena melanggar aturan tidak merokok di aula biro kepegawaian.

Sementara 3 lainnya yakni, UAM sebagai mandor, R yang merupakan Direktur PT ARM dan pejabat pembuat komitmen (PPK) Kejaksaan Agung, NH.

Penetapan tersangka terhadap UAM beralasan lantaran tidak mengawasi kelima tukang itu saat berkerja. Sementara, R dan NH ditetapkan tersangka karena membuat kesepakatan penggunaan cairan pembersih dash cleaner yang disebut mempercepat proses pembakaran.

Para tersangka dijerat dengan Pasal 188 KUHP juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dengan ancaman 5 tahun penjara.