Kata BPK soal Wakil Ketua Inisial AJP yang Disebut Terdakwa Jiwasraya Benny Tjokro
Terdakwa Jiwasraya Benny Tjokro (Sumber: Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Terdakwa kasus Jiwasraya Benny Tjokro menyebut salah satu petinggi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan mengasosiasikan dirinya dengan terdakwa lain dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Kamis, 22 Oktober.

Benny Tjokro mengatakan awal semua perkara yang menjeratnya adalah laporan audit investigasi dari Badan Pemeriksa Keuangan. Katanya, sewaktu tim audit sedang bekerja di kantor BPK, salah satu anggota tim diperintahkan oleh Wakil Ketua BPK berinisial AJP untuk menjeratnya.

Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Internasional Selvia Vivi Devianti angkat bicara mengenai inisial Wakil Ketua BPK AJP yang disebut-sebut dalam sidang tersebut. Ia mengatakan, saat ini kasus Jiwasraya sudah masuk dalam peradilan.

Karenanya BPK tidak ingin memberikan pendapat yang akan mengganggu proses tersebut. Terhadap kasus Jiwasraya, menurut Selvia, BPK telah melakukan pemeriksaan investigasi maupun Penghitungan Kerugian Negara (PKN) berdasarkan permintaan Aparat Penegak Hukum secara profesional berdasarkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang ketat dan terukur.

Selvia mengatakan semua hasil pemeriksaan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atau pihak Aparat Penegak Hukum sebagai bentuk pertanggungjawaban. "BPK menghormati seluruh hasil persidangan di Pengadilan Tipikor dalam kasus Jiwasraya," katanya, dalam keterangan tertulis yang diterima VOI, Sabtu, 24 Oktober.

Terhadap pernyataan-pernyataan yang dapat mengganggu baik reputasi maupun kredibilitas BPK secara kelembagaan, kata dia, laporan hasil PKN yang diterbitkan oleh BPK, merupakan dukungan dari proses penegakan hukum, atau pro justicia yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, dalam hal ini Kejaksaan Agung.

Berbeda dengan jenis pemeriksaan atau audit BPK lainnya, PKN dilakukan dengan syarat apabila penegak hukum telah masuk pada tahap penyidikan. Penetapan tersangka dilakukan oleh aparat penegak hukum, dalam hal ini oleh Kejaksaan Agung.

Secara prosedur, aparat penegak hukum mengajukan kepada BPK untuk melakukan PKN. Tahap selanjutnya adalah ekspose, atau gelar perkara. Di mana dalam tahap tersebut disajikan informasi oleh penyidik mengenai konstruksi perbuatan melawan hukum yang mengandung niat jahat.

Dari gelar perkara tersebut yang sudah disampaikan oleh aparat penegak hukum dengan penyidikan dari bukti-bukti permulaan yang cukup, BPK berkesimpulan bahwa konstruksi perbuatan melawan hukumnya jelas, dan telah didukung oleh bukti permulaan yang memadai.

"Atas dasar ini, penghitungan kerugian negaranya dapat dilakukan. PKN dilaksanakan dengan menerapkan SPKN," tuturnya.

Saat ini, kata Selvia, Benny Tjokro juga sedang menghadapi proses penyidikan dalam kasus pencemaran nama baik terhadap pimpinan BPK. Ia menegaskan, pimpinan BPK tidak pernah melindungi pihak tertentu dalam pemeriksaan atau memaksakan hasil audit tanpa bukti yang jelas. 

"BPK menghitung PKN dengan konstruksi perbuatan melawan hukum dan tersangkanya ditetapkan oleh Kejaksaan Agung," jelasnya.