JAKARTA - Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya menemukan dua dugaan maladministrasi yang dilakukan aparat kepolisian saat mengamankan peserta aksi unjuk rasa penolakan Undang-Undang Cipta Kerja yang berakhir ricuh.
Temuan ini berdasarkan hasil inspeksi dadakan Ombudsman ke kantor-kantor kepolisian. Adapun temuannya adalah pernyataan polisi yang tidak mau menerbitkan SKCK kepada pelajar yang ikut aksi dan tidak memberikan akses pendampingan hukum kepada pedemo yang diamankan.
"Kami melakukan dua pemantauan, terkait dengan penanganan demo di lapangan dan penanganan pascademo. Ada dua dugaan, yakni tidak memberikan akses kepada penasihat hukum dan melampaui kewenangan ketika tidak akan memberikan SKCK kepada pelajar yang ikut demo," kata Teguh kepada VOI, Rabu, 21 Oktober.
Teguh mendapati ada dua Polres di bawah Polda Metro Jaya yang menyatakan tidak akan memberikan SKCK bagi pelajar yang terlibat demonstrasi menolak UU Omnibus Law, yakni Polres Metro Tangerang dan Polres Metro Depok.
Padahal, menurut Teguh, pemberian SKCK adalah bagian dari pelayanan publik yang dilakukan oleh Polri sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 18 Tahun 2014 tentang tata cara penerbitan SKCK.
"SKCK merupakan catatan terhadap seseorang yang pernah melakukan perbuatan melawan hukum atau sedang dalam proses peradilan. Jadi, tidak bisa pelajar yang tidak terbukti bersalah baik dalam proses peradilan atau dalam masa peradilan dipersulit penerbitan SKCK-nya," ungkap Teguh.
Terlebih, dengan sikap polisi yang tidak memberikan SKCK dengan tujuan agar si pelajar sulit mendapat pekerjaan disebut Ombudsman perampasan hak warga negara atas pekerjaan.
"Jadi, kalau ada pelajar baik saat ini atau ke depanya dipersulit memperoleh SKCK atau ditandai khusus sebagai perusuh, silahkan lapor ke Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya," tuturnya.
BACA JUGA:
Selain itu, Ombudsman juga menemukan dugaan maladministrasi dengan tidak diberikannya akses para pengacara untuk mendampingi para tersangka.
"Kami juga menemukan bahwa Polda Metro Jaya tidak memberikan akses bagi para pendamping atau penasihat hukum terhadap 43 orang yang diselidiki, walaupun mendapatkan pendampingan hukum dari penasihat yang disediakan oleh Polda Metro Jaya," kata Teguh.
Semestinya, kata dia, para pedemo yang diamankan memiliki keleluasaan untuk memilih pengacaranya sendiri dan untuk itu perlu dibuka akses kepada para pengacara atau kelompok masyarakat sipil lain untuk melakukan pendampingan.
"Dengan keterbukaan ini, maka menjadi jelas apakah benar ada pihak ketiga yang membiayai, atau ini emosi massa di lapangan, atau massa yang terorganisir dengan tujuan tertentu. Ini untuk mengikis praduga-praduga yang berkembang di masyarakat," imbuhnya.