Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menerbitkan aturan baru yakni Peraturan Mendagri Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencatatan Nama pada Dokumen Kependudukan.

Dalam Permendagri tersebut, dinyatakan bahwa pencatatan nama pada dokumen kependudukan dilakukan sesuai prinsip norma agama, norma kesopanan, norma kesusilaan, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Zudan Arif Fakhrulloh menjelaskan aturan ini dibuat karena banyak nama yang dicatat dalam dokumen kependudukan memiliki makna negatif dan bertentangan dengan norma kesusilaan.

"Ada nama yang mempunyai makna negatif seperti 'Jelek', Orang Gila', 'H. Iblis', "Aji Setan', 'Neraka IU'. Banyak pula nama yang bertentangan dengan norma kesusilaan. Contoh, 'Pantat', 'Aurel Vagina', 'Penis Lambe'," kata Zudan dalam keterangannya, dikutip pada Selasa, 24 Mei.

Selain itu, Kemendagri juga menemukan nama yang merendahkan diri sendiri dan bisa menjadi bahan perundungan, seperti "Erdawati Jablay Manula", "Lonte", "Asu", "Ereksi Biantama".

Selain itu, lanjut Zudan, ada nama-nama yang berpengaruh negatif pada kondisi anak, seperti "Tikus", "Bodoh", dan "Orang Gila".

"Ada juga yang menamakan anak menggunakan nama Lembaga negara, mewakili atau menyerupai jabatan, pangkat, penghargaan, contoh 'Mahkamah Agung', 'Bapak Presiden', 'Polisi', 'Bupati', 'Walikota'," ucap Zudan.

Zudan mengungkapkan, nama-nama yang ia contohkan ini berpotensi menjadi beban pikiran dan mengganggu perkembangan anak saat dirinya dinamakan kata-kata tersebut. Sehingga, Permendagri Nomor 72 Tahun 2022 diharapkan mencegah kembali munculnya nama itu.

"Nama-nama yang bermakna negatif, bertentangan dengan norma agama, kesopanan dan kesusilaan akan menjadi beban pikiran terhadap perkembangan anak sampai ia dewasa, seumur hidup bahkan sampai dia berketurunan, karena nama diberikan hanya sekali dalam seumur hidup," jelas Zudan.

Sebagai informasi, Permendagri Nomor 72 Tahun 2022 mencantumkan sejumlah persyaratan pencatatan nama pada dokumen kependudukan, di antaranya mudah dibaca, tidak bermakna negatif, dan tidak multitafsir; jumlah huruf paling banyak 60 huruf termasuk spasi; serta jumlah kata paling sedikit 2 kata.

Dalam hal penduduk melakukan perubahan nama, pencatatan perubahan nama dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri dan persyaratannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kemudian, dalam hal penduduk melakukan pembetulan nama, pencatatan pembetulan nama termasuk bagian pembetulan dokumen kependudukan berdasarkan dokumen otentik yang menjadi dasar untuk pembetulan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Adapun, tata cara pencatatan nama pada dokumen kependudukan yakni menggunakan huruf latin sesuai kaidah bahasa Indonesia; nama marga atau famili dapat dicantumkan; gelar pendidikan, adat, dan keagamaan dapat dicantumkan pada kartu keluarga dan KTP elektronik yang penulisannya dapat disingkat.

Lalu, pencatatan nama pada dokumen kependudukan dilarang disingkat kecuali tidak diartikan lain, dilarang menggunakan angka dan tanda baca, serta dilarang mencantumkan gelar pendidikan dan keagamaan pada akta pencatatan sipil.