Dilanda Wabah COVID-19, Korea Utara Dilaporkan Minta Bantuan China dan Rusia
Ilustrasi COVID-19 di Korea Utara. (Sumber: KCNA)

Bagikan:

JAKARTA - Korea Utara dilaporkan telah meminta bantuan China dan Rusia di tengah lonjakan kasus COVID-19, yang mungkin menjadi bencana kesehatan terburuk dalam beberapa dekade.

Setelah menolak untuk menerima tawaran bantuan dari Korea Selatan dan organisasi internasional, termasuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Korea Utara tampaknya telah beralih ke sekutu utamanya, China dan Rusia, sambil merahasiakan permintaan bantuannya.

Menurut penyiar Korea Selatan YTN, China sedang bersiap untuk mengirim dokter, perawat dan persediaan medis "'dalam jumlah besar' ke Korea Utara pada awal minggu ini, seperti melansir Korea Times 18 Mei.

Ini terjadi setelah laporan menyebutkan, Korea Utara mulai membawa pasokan darurat dari China dengan menggunakan tiga pesawat kargo besar Air Koryo.

Sementara dalam rilis media Hari Selasa, Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan Wakil Menteri Laur NegeriIgor Morgulov mengadakan pertemuan dengan Duta Besar Korea Utara untuk Moskow Shin Hong-chul.

Tujuannya untuk membahasberbagai masalah kerja sama kedua negara, termasuk tanggapan terhadap penyebaran COVID-19. Namun kementerian tidak mengungkapkan rinciannya.

Menyusul berita tentang kasus virus corona pertama Korea Utara pekan lalu, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan Rusia, yang mengembangkan vaksin COVID-19 Sputnik V, akan dengan cepat menanggapi permintaan dukungan vaksin dari Korea Utara.

Ditanya tentang kemungkinan rencana dukungan COVID untuk Korea Utara oleh Korea Times Selasa, pejabat pers di Kedutaan Besar China dan Rusia di Seoul menolak untuk menanggapi.

Pada Hari Rabu, Korea Utara melaporkan 232.880 kasus demam dan enam kematian tambahan. Hanya dalam enam hari, jumlah total kasus tersebut melampaui 1,72 juta, dengan 62 kematian dan setidaknya 691.170 orang masih dikarantina.

Terpisah, Mike Ryan, direktur kedaruratan WHO, Selasa memperingatkan bahwa situasi Korea Utara dapat menimbulkan varian baru virus corona.

"WHO telah berulang kali mengatakan, di mana Anda memiliki penularan yang tidak terkendali, selalu ada risiko varian baru yang lebih tinggi muncul," jelas Mike Ryan.

"Tentu saja mengkhawatirkan jika negara tidak menggunakan alat yang sekarang tersedia," tandasnya.