Bagikan:

JAKARTA - UU Omibus Law Cipta Kerja telah disahkan, meskipun mendapat banyak penolakan datang dari serikat buruh atau pekerja. Salah satu poin keberatan atas pengesahan UU sapu jagat yang disuarakan oleh serikat buruh adalah hilangnya aturan cuti haid dan cuti hamil.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan, bahwa hak-hak pekerja tetap ada dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Beberapa hal yang ia tegaskan tetap ada itu seperti cuti melahirkan, hingga cuti haid. Menurut Airlangga, aturan mengenai hak-hak buruh masih tetap mengacu beleid lama yakni Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

"Mengenai isu hak cuti haid dan cuti melahirkan dihapus, kami tegaskan bahwa pengusaha wajib memberikan cuti dan waktu istirahat. Waktu ibadah, cuti haid, cuti melahirkan, waktu menyusui, kami tegaskan tidak dihapus dan tetap sesuai UU lama," katanya, dalam konferensi pers secara virtual, Rabu, 7 Oktober.

Memang, berdasarkan draf final Omnibus Law Cipta Kerja yang didapat VOI, tidak ditemukan pasal yang secara spesifik menyatakan pemberian cuti hamil dan cuti haid kepada pekerja. Ketentuan cuti bagi pekerja hanya secara umum.

Hal itu tertuang di Pasal 79, di mana pemberi kerja wajib memberi waktu istirahat dan cuti. Istirahat diberikan antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama empat jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja.

Lalu, diberikan pula istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu.

"Cuti yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus," tulis Pasal 79 ayat 3 Omnibus Law Ciptaker.

Pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Selain waktu istirahat dan cuti yang sudah diatur, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Padahal di UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, ketentuan cuti haid hingga cuti hamil secara khusus tertuang dalam empat pasal.

Salah satunya pada Pasal 81. Pada pasal itu dijelaskan pekerja/buruh perempuan yang merasakan sakit saat haid dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu siklus itu.

Pelaksanaannya sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Begitu juga dengan cuti haid.

"Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan," bunyi Pasal 82 ayat 1 UU Ketenagakerjaan.

Selain itu, pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat satu setengah bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.

Bahkan, Pasal 84 UU Ketenagakerjaan mewajibkan para pekerja/buruh perempuan yang mendapat hak cuti tersebut tetap mengantongi upah penuh.