JAKARTA - Organisasi nirlaba asal Amerika Serikat, Human Rights Watch membeberkan masih adanya ‘budaya’ memasung orang dengan gangguan jiwa atau mental. Dalam laporan terbarunya, Human Rights Watch menyebutkan ada ratusan ribu orang, mulai dari pria, wanita, dan anak-anak yang dipasung di 60 negara.
Melansir CNA, Selasa, 6 Oktober, Human Rights Watch meluncurkan laporan soal kondisi itu menjelang hari kesehatan mental sedunia pada 10 Oktober.
Human Rights Watch telah mewawancarai hampir 800 sukarelawan. Para sukarelawan mewawancarai sejumlah orang mengenai kehidupan dengan masalah mental di sejumlah negara seperti China, Nigeria, dan Meksiko. Terutama, mereka yang dibelenggu selama bertahun-tahun, baik itu dirantai di pohon atau pun dikunci di kandang hewan.
"Kami telah menemukan praktik belenggu lintas agama, strata sosial, kelas ekonomi, budaya dan kelompok etnis. Ini adalah praktik yang ditemukan di seluruh dunia," kata peneliti senior hak disabilitas di Human Rights Watch, Kriti Sharma.
Sharma mengatakan praktik belenggu atau pasung yang berkembang di masyarakat dunia tak lain karena banyak negara masih mempercayai adanya ilmu sihir. Mereka percaya, orang memiliki gangguan mental karena disihir, berdosa atau dirasuki.
New @HRW report: Hundreds of thousands of people, including children, are chained or locked in confined spaces in 60 countries across Asia, Africa, Europe, the Middle East, and the Americas. It's time for governments to do better and #BreakTheChains: https://t.co/nR5Zdhng3N pic.twitter.com/OPqwcgADwB
— Abier-Almasri (@abier_i) October 6, 2020
Namun, keputusan memasung orang dengan gangguan jiwa atau mental tidak dapat dibenarkan. Bagi Sharma pasung dalah praktik kejam dan melanggar hak asasi manusia. Sharma mencontohkan salah seorang pria Kenya yang telah dibelenggu selama lima tahun bernama Paul. Pria itu mengaku hampir tak bisa bergerak karena dibelenggu bertahun-tahun.
"Saya tinggal di sebuah kamar kecil dengan tujuh pria. Saya tidak diperbolehkan memakai pakaian, hanya pakaian dalam. Saya makan bubur di pagi hari dan jika beruntung, saya menemukan roti di malam hari,” ujar Paul.
Hundreds of thousands of people with #mentalhealth conditions live in #chains;
pro-democracy protests in #Kyrgyzstan and #Belarus are being heard;
migrants pushed back illegally in #Greece.
Today's @HRWDailyBrief https://t.co/QaGRCnJ2N7 pic.twitter.com/3rNrzUFA4Z
— Human Rights Watch (@hrw) October 6, 2020
Sebelumnya, Human Rights Watch pada tahun lalu bersama pihak berwenang di Nigeria sempat menggerebek pusat rehabilitasi setempat. Upaya penggerebekan dilakukan karena terdapatnya sebuah pemberitaan viral terkait adanya anak laki-laki yang dipasung, dibiarkan telanjang, dipukuli, dan dilecehkan pada tempat tersebut.
Menurut Sharma, pasung rentan terjadi di pusat-pusat yang dikelola negara, swasta, atau lembaga pengobatan tradisional di banyak negara. Tak hanya membelenggu, banyak di antaranya mereka dipaksakan memakai obat-obatan, mendapatkan kekerasan fisik, dan seksual.
Meski begitu, Kementerian Luar Negeri China dan Kementerian Kesehatan Meksiko tidak segera memberikan komentar terkait laporan itu. Malah, seorang juru bicara Kementerian Kesehatan Nigeria mengungkap otoritasnya belum melihat laporan, dan menolak berkomentar untuk saat ini.