JAKARTA - Sejarah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memasuki fase baru seiring berlakunya Undang-Undang (UU) baru KPK. Pemberlakuan UU dikhawatirkan membuka banyak besar bagi upaya hukum melalui praperadilan. Fungsi KPK sebagai pemberantas korupsi lagi-lagi dikhawatirkan.
KPK baru saja menetapkan Bupati Sidoarjo Saiful Ilah sebagai tersangka suap pengadaan proyek di lingkup Pemkab Sidoarjo. Saiful Ilah ditangkap lewat operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan tim penindakan KPK.
Namun, penindakan ini justru dianggap berpotensi jadi bumerang bagi Lembaga Antirasuah. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), pemberlakuan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi membuka banyak celah dalam penegakan hukum KPK. Dan celah itu berpotensi mengundang gugatan praperadilan.
"ICW meyakini KPK ke depan akan menghadapi banyak gugatan praperadilan yang mempersoalkan proses penindakan karena hadirnya UU KPK baru," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana lewat keterangan tertulisnya, Rabu, 8 Januari.
Gugatan ini bisa muncul akibat ada celah pada keharusan untuk mendapat izin penyadapan dari Dewan Pengawas dalam melakukan OTT. Menurut Kurnia, hal itu dinilai merusak sistem penindakan KPK yang dikenal cepat termasuk dalam OTT.
"Sederhana saja, bagaimana mungkin tangkap tangan akan akan efektif jika penyadapan saja memerlukan waktu lama karena harus melalui izin Dewan Pengawas," ungkap dia.
"Justru dengan hadirnya Dewan Pengawas pada UU KPK baru malah akan merusak sistem penindakan KPK yang selama ini dikenal cepat, tepat, dan terbukti berhasil menjerat ratusan pelaku korupsi di persidangan," imbuh Kurnia.
Menanggapi pernyataan ICW tersebut, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan pihaknya tidak khawatir akan kebanjiran perlawanan akibat UU Nomor 19 Tahun 2019 yang dianggap menyimpan celah. Dia bahkan menyebut lembaga antirasuah itu akan siap menghadapi semua upaya hukum yang dilakukan oleh para koruptor.
"Apa KPK khawatir (banyak gugatan praperadilan)? Tidak. Kita tidak khawatir," kata Alexander usai melakukan konferensi pers penetapan tersangka Bupati Sidoarjo di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu, 8 Januari.
Dia menegaskan, pengajuan praperadilan merupakan hak setiap tersangka dalam suatu kasus. Alex bahkan menegaskan siapapun yang tak puas dengan penerbitan surat perintah penyidikan (Sprindik) maka bisa mengajukan praperadilan. "Silakan (ajukan) nanti kita akan dijawab di praperadilan," ucapnya.
Diketahui, Bupati Sidoarjo, Saiful Ilah ditetapkan sebagai tersangka korupsi setelah diduga menerima duit total Rp 550 juta dari pihak swasta yang merupakan kontraktor, yaitu Ibnu Ghopur. Penyerahan uang ini merupakan komisi atas bantuan Saiful karena telah memenangkan usaha Ibnu.
Selain Saiful ada tiga orang lainnya yang ditetapkan sebagai tersangka, mereka adalah Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Bina Marga, dan Sumber Daya Air Kabupaten Sidoarjo Sunarti Setyaningsih; Pejabat Pembuat Komitmen Dinas Dinas Pekerjaan Umum, Bina Marga, dan Sumber Daya Air Kabupaten Sidoarjo, Judi Tetrahastoto; serta Kepala Bagian Unit Layanan Pengadaan Sanadjihitu Sangadji.
Atas perbuatannya itu, Saiful dan bawahannya kemudian disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan sebagai pemberi, Ibnu Ghopur dan Totok Sumedi yang merupakan pihak swasta kemudian disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.