Masa Depan Iran Tidak Terkait Pembahasan Kesepakatan Nuklir, Pemimpin Iran Khamenei: Jangan Menunggu Negosiasi
Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei (Wikimedia Commons/Khamenei.ir)

Bagikan:

JAKARTA - Pemimpin tertinggi Iran mengatakan pada Hari Selasa, masa depan negaranya tidak boleh dikaitkan dengan keberhasilan atau runtuhnya pembicaraan nuklir dengan kekuatan dunia menurut laporan media Pemerintah Iran.

Ayatollah Ali Khamenei, yang memiliki keputusan terakhir tentang semua masalah negara, termasuk program nuklir Iran, membuat komentar sekitar sebulan setelah hampir satu tahun pembicaraan tidak langsung antara Iran dan Amerika Serikat terhenti.

Kedua negara bersikeras saling menyalahkan karena kurangnya 'kemauan politik' untuk menyelesaikan masalah yang tersisa.

"Sama sekali jangan menunggu negosiasi nuklir dalam perencanaan negara dan bergerak maju," kata Khamenei dalam pertemuan para pejabat senior, lapor TV pemerintah, melansir Reuters 13 April.

"Jangan biarkan pekerjaan Anda terganggu apakah negosiasi mencapai hasil positif atau semi positif atau negatif," tegas Khamenei.

Diketahui, pada tahun 2018, Presiden AS saat itu Donald Trump meninggalkan kesepakatan nuklir, menerapkan kembali sanksi yang telah melumpuhkan ekonomi Iran. Setahun kemudian, Iran mulai melanggar batasan yang diberlakukan pada program nuklirnya oleh perjanjian 2015 untuk mempersulit pengembangan bom. Iran mengatakan, program nuklirnya hanya untuk penggunaan damai.

"Amerika Serikat melanggar janjinya (dengan keluar dari kesepakatan) dan sekarang mereka telah mencapai jalan buntu. Sementara Iran tidak berada dalam situasi seperti itu," tukas Khamenei, sambil meminta perunding nuklir Iran untuk terus "menolak tuntutan berlebihan Amerika".

Salah satu masalah yang belum terselesaikan adalah, apakah Washington akan menghapus Korps Pengawal Revolusi (IRGC) elit Iran dari daftar Organisasi Teroris Asing (FTO) AS, seperti yang diminta oleh Teheran agar kesepakatan itu dapat dihidupkan kembali.

Para kritikus yang mencoret IRGC dari daftar, serta mereka yang terbuka terhadap gagasan itu, mengatakan tindakan itu akan memiliki sedikit efek ekonomi, karena sanksi AS lainnya memaksa aktor asing untuk menghindari kelompok itu.

IRGC, yang dibentuk oleh mendiang pendiri Republik Islam Ayatollah Ruhollah Khomeini, lebih dari sekadar kekuatan militer dan memiliki pengaruh politik yang sangat besar. Kelompok ini ditempatkan di bawah sanksi pada 2017 dan dimasukkan ke daftar FTO pada April 2019.

Setelah serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat, IRGC dikenai sanksi sebagai "teroris global yang ditunjuk khusus" (SDGT) dalam daftar AS yang terpisah.