Bagikan:

JAKARTA - Kasus skandal gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya terus menemukan beberapa fakta baru. Teranyar, pada hari ini, Rabu 8 Januari, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan, sejak 2006 perusahaan asuransi milik negara ini mencatatkan laba semu karena rekayasa akuntansi. Padahal, menurut BPK, Jiwasraya seharusnya mencatatkan kerugian.

Jiwasraya dinilai gagal total dalam pengelolaan keuangannya. Seperti diberitakan, akar masalah kasus Jiwasraya adalah tak dapat membayar klaim polis Rp 12,4 triliun untuk periode Oktober-November 2019. Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko pun tak dapat memastikan kapan pembayaran klaim polis yang sudah jatuh tempo itu.

Para nasabah Jiwasraya pun menuntut keadilan. Dikutip dari cnnindonesia.com, ada beberapa nasabah Jiwasraya yang mendatangi kantor Kementerian BUMN pada 17 Desember 2019. Salah satu nasabah bernama Haresh, ingin meminta penjelasan dari pemerintah selaku pemegang saham terbesar Jiwasraya, terkait penyelesaian pembayaran klaim produk JS Saving Plan.

Ia mengaku membeli produk JS Saving Plan melalui Standard Chartered Indonesia pada 2017 lalu. Tak sendiri, dua anak Haresh juga ikut membeli polis produk asuransi tersebut.

"Ditawarkan oleh Standard Chartered katanya hasil lebih bagus daripada deposito. Memang dibilang bagus jadi beli, lalu dibilangnya asuransi bebas pajak penghasilan," jelasnya.

Lebih lanjut ia menyatakan pembayaran klaim pada tahun pertama masih lancar. Sementara, pembayaran klaim mulai tersendat pada 6 Oktober 2018.

"Mulai macet [pembayaran] 6 Oktober 2018. Dari saat itu sampai hari ini belum ada pembayaran," terang Haresh saat itu.

Kasus ini semakin menyita perhatian publik kala Jaksa Agung ST Burhanuddin pada 18 Desember 2019 mengungkapkan ada dugaan korupsi dalam pengelolaan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya dengan perhitungan kerugian negara sekitar Rp 13,7 triliun hingga Agustus lalu. Nilai kerugian tersebut bahkan dapat bertambah sejalan dengan hasil penyidikan Kejagung.

Burhanuddin menyebutkan, manajemen Jiwasraya diduga melanggar prinsip good corporate governance dalam mengelola dana publik. Manajemen Jiwasraya memilih berinvestasi dengan risiko tinggi demi mengejar keuntungan besar. 

Nasabah-nasabah Jiwasraya pun semakin berang. Dikutip dari bisnis.com, pada 4 Januari lalu ada sekitar 50 perwakilan nasabah Jiwasraya mendatangi gedung DPR. Mereka mewakili ratusan pemilik polis untuk menagih penyelesaian masalah pembayaran klaim produk JS Saving Plan dari Jiwasraya.

Salah satu dari nasabah tersebut bahkan Vice President PT Samsung Electronics Indonesia, Lee Kang Hyun. Menurutnya, Jiwasraya terakhir membayarkan klaim untuk polis di bawah Rp1 miliar pada 6 Oktober 2018, dan tidak ada lagi pembayaran klaim hingga saat ini.

Ia bercerita, sejak Jiwasraya mengumumkan gagal bayar pada Oktober 2018, para nasabah terus mencari kejelasan atas nasib dana yang mereka simpan. Pertama-tama mereka mencoba berkomunikasi dengan manajemen Jiwasraya, tapi hasilnya nihil hingga saat ini, tak sekalipun mereka pernah bertemu.

"Belum pernah pihak Jiwasraya memberi informasi langsung kepada kami, melalui bank [penyalur polis] pun belum pernah," ujar Lee.

Mereka kemudian mencari kepastian kepada Kementerian BUMN yang saat itu dijabat Rini Soemarno, selaku pemegang saham mayoritas dari Jiwasraya. Ada dua salinan surat dari Forum Komunikasi Pemegang Polis Bancassurance Jiwasraya yang ditujukan kepada Rini Soemarno.

Surat pertama bertanggal 26 Desember 2018 berisi peringatan pembayaran polis bancassurance Jiwasraya yang telah jatuh tempo. Adapun, surat kedua yang bertanggal 5 Agustus 2019 berisi pernyataan tuntutan dan permohonan audiensi dengan Kementerian BUMN.

Surat itu pun belum membuahkan kejelasan nasib uang mereka, termasuk uang Lee sebanyak Rp8,2 miliar yang belum kembali dari total polisnya Rp16 miliar. Mereka kemudian menghubungi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mencari kepastian.

Berdasarkan salinan tanda terima pengiriman surat kepada OJK, surat bertanggal 5 Agustus 2019 dari pemegang polis Jiwasraya telah diterima oleh OJK. Namun, menurut Lee, tidak ada respon dari OJK hingga saat ini.

Produk Gagal

Biang keladi bobroknya pengelolaan keuangan Jiwasraya yakni akibat satu produk, yakni saving plan atau JS Saving Plan. JS Saving Plan merupakan produk asuransi jiwa sekaligus investasi yang ditawarkan melalui perbankan atau bancassurance.

Berbeda dengan produk asuransi unit link yang risiko investasinya ditanggung pemegang polis, JS Saving Plan merupakan investasi non unit link yang risikonya sepenuhnya ditanggung perusahaan asuransi.

Tujuh bank yang menjadi agen penjual yakni PT Bank Rakyat Indonesia, Standard Chartered Bank, PT Bank Tabungan Negara Tbk, PT Bank QNB Indonesia, PT Bank ANZ Indonesia, PT Bank Victoria International Tbk, dan PT Bank KEB Hana.

Produk JS Saving Plan pertama kali diperkenalkan pada 2013. Melalui produk tersebut, Jiwasraya menawarkan proteksi selama lima tahun tetapi memiliki masa investasi satu tahun.

Artinya, setiap tahun terdapat klaim jatuh tempo yang harus dibayarkan, kecuali nasabah meminta perpanjangan polis atau roll over. Setelah klaim dibayarkan, masa proteksi personal accident tetap berlangsung hingga tahun kelima.

Produk JS Saving Plan dilabeli tarif mulai dari Rp100 juta hingga Rp5 miliar untuk setiap polisnya. Nasabah dapat membeli lebih dari satu polis sehingga bisa memiliki nilai polis di atas Rp5 miliar. Satu orang nasabah bisa memiliki lebih dari satu polis, bisa juga atas nama keluarganya yang lain.

Produk itu sempat dipasarkan  melalui kantor-kantor cabang Jiwasraya. Namun, manajemen kemudian menghentikan pemasaran di kantor cabang karena alasan tertentu.

JS Saving Plan dapat dikatakan sebagai produk andalan dari Jiwasraya, khususnya dalam kurun 2013–2017. Produk tersebut terus mencatatkan pertumbuhan premi hingga pada 2017 menjadi sumber premi terbesar dari Jiwasraya.

Pada 2015, perolehan premi JS Saving Plan mencapai Rp5,15 triliun atau 50,3 persen dari total premi kala itu. Jumlahnya meningkat pada 2016 menjadi Rp12,57 triliun atau 69,5 persen dari total premi.

Pada 2017, premi JS Saving Plan terus bertambah dan mencapai Rp16,54 triliun. Porsi premi produk tersebut mencapai 75,3 persen dari total premi Jiwasraya senilai Rp21,91 triliun.

Namun, pada 2018, perolehan premi JS Saving Plan menyusut menjadi Rp5,46 triliun. Premi Jiwasraya secara keseluruhan pun menurun menjadi Rp10,67 triliun sehingga porsi produk JS Saving Plan menjadi 51,1% dari total premi.

Iming-iming imbal hasil tinggi dari produk tersebut menimbulkan masalah besar. Melalui produk JS Saving Plan, Jiwasraya menawarkan jaminan imbal hasil berkisar 9-13 persen selama 2013–2018. Imbal hasil tersebut lebih besar dibandingkan dengan tingkat suku bunga deposito 2018 berkisar 5,2-7,0 persen, juga lebih besar dari pertumbuhan 2018 yang negatif 2,3 persen.

Kenyataannya, imbal hasil JS Saving Plan tidak pernah bisa di-cover oleh investasi. Imbal hasil yang dijanjikan itu efektifnya 13 persen, turun jadi 7 persen, tapi kondisi pasar jauh lebih rendah dari itu sehingga menyebabkan kerugian.

Sebagai informasi, dalam laporan keuangan yang Jiwasraya, aset berupa saham pada Desember 2017 tercatat sebesar Rp 6,63 triliun, menyusut drastis menjadi Rp 2,48 triliun pada September 2019.

Yang paling parah, terjadi pada aset yang ditempatkan di reksa dana, dimana pada Desember 2017 tercatat sebesar Rp 19,17 triliun, nilainya anjlok menjadi Rp 6,64 triliun pada September 2019.

Sementara itu aset lainnya yang ditempatkan di obligasi korporasi dan SUN relatif stabil. Saham-saham yang dikoleksi Jiwasraya sangat fluktuatif yang disebut-sebut masuk dalam kategori saham gorengan.

Di sisi lain, aset perusahaan asuransi ini juga tak cukup menalangi pembayaran polis. Jiwasraya sebenarnya memiliki aset tetapi nilainya menyusut menjadi Rp 2 triliun dari Rp 25 triliun.

Sehingga, nilai aset tersebut tidak mungkin diandalkan untuk melunasi pembayaran. Kondisi kinerja investasi yang terpuruk ini membuat rasio kecukupan modal sampai minus menjadi 805%, jauh di atas modal minimum yang wajib dipenuhi oleh perusahaan asuransi sebesar 120% sebagaimana yang ditetapkan OJK. 

Produk JS Saving Plan mulai menunjukkan gejala masalah pada 2018, hingga akhirnya pada Oktober 2018 manajemen mengumumkan gagal bayar klaim JS Saving Plan senilai Rp802 miliar. Pengumuman tersebut disampaikan oleh direksi kepada bank-bank pemasar.

Pada Oktober 2018 itu pun Jiwasraya memutuskan untuk menghentikan penjualan produk JS Saving Plan. Klaim jatuh tempo tersebut terus membengkak, hingga pada akhir 2019 jumlahnya mencapai Rp12,4 triliun.

Selain iming-iming imbal hasil yang tinggi, terdapat pelanggaran prinsip tata kelola di tubuh Jiwasraya. Hal tersebut khususnya terjadi dalam pengelolaan dana nasabah yang diperoleh melalui produk JS Saving Plan.

Kini, sebanyak 17.403 pemegang polis menggantungkan harapan kepada seluruh pihak, baik manajemen Jiwasraya saat ini, Kementerian BUMN, OJK, dan pemerintah agar uang mereka dapat kembali.

Harapan memperoleh cuan yang dijanjikan melalui produk JS Saving Plan justru berujung pahit. Produk tersebut sudah berhenti dipasarkan, namun seperti bola salju, masalah yang ditimbulkan kini terus bergulir dan semakin membesar.