Pilkada Tak Bisa Ditunda karena Keterbatasan Plt, LIPI: Terlalu Naif
Ilustrasi (Foto: Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menaggapi alasan pemerintah yang kukuh melanjutkan Pilkada karena pelaksana tugas (Plt) kepala daerah tidak bisa mengambil keputusan strategis.

Peneliti politik LIPI Siti Zuhro menilai, alasan pemerintah mengenai dampak kekosongan jabatan kepala daerah yang diisi Plt tersebut tidak mendasar. 

"Terlalu naif jika kita mengatakan keputusan strategis tak bisa diambil karena kedudukannya sebagai Plt yang menjabat akibat banyak masa jabatan kepala daerah yang habis," kata Zuhro dalam diskusi webinar, Kamis, 1 Oktober.

Zuhro berpendapat, telah ada mekanisme penjabat (Pj) pelaksana tugas (Plt) atau pelaksana harian (Plh) yang telah dipraktikan di banyak wilayah sejak Indonesia berdiri. 

Ia mencontohkan penunjukan Plt yang terjadi dua kali di DKI jelang Pilkada DKI tahun 2012 yang diisi dengan Prijanto dan 2017 yang diisi dengan Soni Sumarsono. Penunjukan Plt ini dilakukan karena Gubernur DKI kembali maju sebagai calon inkamben. 

"Ketika ikamben cuti, maka Dirjen Otda Kemendagri menjadi penggantinya di Provinsi DKI Jakarta. Apa yang terjadi? Banyak kebijakan yang diambil. Tidak ada masalah. Memang boleh kok, enggak ada bedanya," jelas Zuhro.

"Plt sudah ada sarananya, bisa diambil dari pusat, dari provinsi, atau dari Pemda kabupaten kota itu sendiri. Jadi tidak ada deadlock dalam hal ini," lanjut dia.

Sehubungan dengan itu, penundaan Pilkada juga bukan sesuatu yang baru. Dalam sejarah kehidupan pemilu di Indonesia, pernah terjadi penundaan pelaksanaan pemilu termasuk Pemilu 1955 hingga masa reformasi.

"Memajukan atau mengundurkan jadwal pelaksanaan pemilu dan/atau pilkada secara administrasi pemerintahan bukanlah sebuah pelanggaran konstitusional, tetapi telah diatur dan tetapkan dalam sistem administrasi pemerintahan di Indonesia," jelasnya.

Sebelumnya, Kabag Perundang-Undangan Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Saydiman Marto menyebut ada pertimbangan yang membuat penundaan Pilkada 2020 hampir tidak dimungkinkan untuk ditunda kembali.

Saydiman menuturkan, masa jabatan kepala daerah di 270 daerah yang mengikuti Pilkada 2020 akan segera berakhir di awal tahun depan. 

Ketika pilkada kembali ditunda, itu artinya kepemimpinan di daerah tersebut akan diisi oleh penjabat (Pj) selama masa jabatan kepala daerah habis dan belum memiliki kepala daerah baru.

Sayangnya, penjabat memiliki keterbatasan, yakni tidak bisa mengambil keputusan yang bersifat strategis dan mengeksekusi suatu kebijakan. Padahal, hal ini diperlukan dalam penanganan pandemi.

"Keterbatasannya, penjabat menduduki dua jabatan pemerintahan. Pada saat yang bersamaan, itu sulit untuk berkonsentrasi terhadap jabatan (kepala daerah sementara) yang ada, di samping jabatan definitif yang diemban," ungkap Saydiman.