JAKARTA - Anggota Badan Anggaran DPR dari Fraksi PKS, Hermanto menyebutkan, defisit APBN 2021 sebesar 5,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan tanda bahwa anggaran negara besar pasak dari tiang. Belanja negara lebih besar dari pendapatan negara.
"Sederhananya, APBN 2021 dibelanjai dengan utang," ujar Hermanto dalam keterangan tertulisnya, dikutip Kamis 1 Oktober.
Rapat Paripurna DPR, Rabu 30 September kemarin menyetujui APBN 2021 yang pendapatan sebesar Rp1.743 triliun lebih, belanja Rp2.750 triliun lebih dan defisit Rp1.006,4 triliun.
"Meski disetujui, ada banyak catatan kritis yang patut diperhatikan oleh pemerintah," ujar Hermanto.
Menurutnya, defisit 5,7 persen mengindikasikan betapa tidak efisien anggaran negara di mana sisi pengeluaran yang besar tidak ditopang oleh pendapatan yang memadai.
"Selain itu, persoalan APBN sebenarnya bukan sekedar menetapkan defisit atau surplus. Persoalannya, apakah APBN mampu mengatasi pandemi COVID-19, memulihkan ekonomi, membuka lapangan kerja, mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan merangsang perolehan pajak?,” tanyanya.
APBN, lanjutnya, minim keberpihakan pada rakyat. Proporsionalitas anggaran untuk masyarakat miskin perkotaan dan pedesaan lebih kecil dibanding untuk pembiayaan proyek.
"Indikasinya, pemerintah kurang memberikan perhatian dalam mengatasi kelangkaan pupuk, penyediaan benih berkualitas, perbaikan irigasi dan UMKM," tuturnya.
Menurut Hermanto, alokasi anggaran penyertaan modal negara (PMN) untuk BUMN yang rugi seharusnya dibatasi. Sebelum diberi PMN, terlebih dahulu BUMN yang rugi tersebut harus melakukan efisiensi.
BACA JUGA:
APBN 2021 disusun pada 2020 di saat Indonesia menghadapi pertumbuhan ekonomi yang mengalami kontraksi. Pada kuartal II, kinerja perekonomian RI telah mencatatkan kontraksi hingga minus 5,23 persen. Kuartal III dan kuartal IV juga diperkirakan akan mengalami pertumbuhan minus.
"Dalam kondisi demikian, sangat penting bagi pemerintah untuk memperhitungkan dampak siklus dan transmisi tahun 2020 ke tahun 2021," ujar Hermanto.
Hermanto meminta pemerintah agar konsisten mengelola anggaran yang secara garis besar untuk 2 hal yaitu keberhasilan mengatasi pandemi COVID-19 dan pemulihan ekonomi.
"Hal tersebut perlu diingatkan karena saat ini tidak terjadi sinergi dan konsolidasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mencegah dan mengatasi penyebaran wabah COVID-19, juga dalam upaya pemulihan ekonomi," tuturnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya mengatakan, kenaikan defisit ini akan dibiayai oleh tambahan penerbitan surat berharga negara (SBN) senilai Rp34,9 triliun, penggunaan saldo anggaran lebih (SAL) Rp15,8 triliun dan tambahan cadangan pembiayaan pendidikan Rp15,4 triliun.
Bendahara negara ini mengatakan, perubahan defisit ini disebabkan adanya penurunan penerimaan negara yang semula sebesar Rp1.776,4 triliun menjadi Rp1.743,6 triliun atau turun Rp32,7 triliun.