JAKARTA - Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) menjelaskan latar belakang yang mendasari pemberhentian mantan Menteri Kesehatan Terawan Putranto dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam rapat bersama Komisi IX DPR, Senin, 4 April.
MKEK menilai ada masalah besar pada metode digital subtraction angiography (DSA) atau 'cuci otak' yang diperkenalkan oleh Terawan.
Perwakilan MKEK, Dokter spesialis farmakologi klinik yang membidangi bidang obat, Prof Rianto Setiabudi, memaparkan terdapat bagian-bagian tertentu dari disertasi Terawan yang mengandung kelemahan substansial.
Prof Rianto mengungkapkan, dosis kecil heparin yang digunakan dalam metode DSA Terawan tak berfungsi melarutkan bekuan darah pada otak pasien stroke. Melainkan hanya mencegah mampet bekuan darah pada ujung kateter yang berfungsi menunjukkan letak mampet.
"DSA itu suatu metode, metode radiologi memasukkan kateter dari suatu pembuluh darah di paha sampai ke otak. Di sana dilepaskan kontras. Kontras itu akan menunjukkan, di mana letak mampetnya itu. Nah, supaya ujung kateter itu tetap terbuka, diberikanlah sedikit dosis kecil heparin untuk mencegah bekuan darah di ujung kateter. Ketika itu digunakan, maka timbul masalah yang besar sekali yaitu yang digunakan ini adalah orang-orang stroke yang stroke-nya sudah lebih dari satu bulan," ujar Prof Rianto yang dikutip melalui YouTube Komisi IX DPR, Selasa, 5 April.
"Jadi bekuan darah itu sudah mengeras di situ dan tidak mungkin, kita cari di literatur mana pun, yang menunjukkan bahwa heparin efektif untuk merontokkan (atau) melarutkan bekuan darah," sambungnya.
Menurut Prof Rianto, yang bisa melarutkan bekuan darah pada pasien stroke hanyalah zat thrombolytic agents. Itu pun, kata dia, hanya efektif jika stroke baru berusia beberapa jam.
"Ini (metode DSA Terawan) sudah satu bulan lebih dan dipakainya bukan obat untuk meluruhkan itu. Jadi timbul masalah besar di situ," katanya.
Prof Rianto menjelaskan, uji klinik penelitian DSA tidak memiliki kelompok pembanding. Hal inilah yang menjadikan desain penelitian pada disertasi Terawan 'cacat besar'.
BACA JUGA:
"Uji klinik yang benar akan mengatakan kita sulit sekali menerima kesahihan penelitian yang tanpa pembanding. Ini adalah desain penelitian yang cacat besar sebetulnya. Itu terjadi dalam penelitian ini," jelas Prof Rianto.
Selanjutnya, Terawan menggunakan tolak ukur keberhasilan menggunakan parameter pengganti yaitu pelebaran pembuluh darah. Seharusnya, kata Prof Rianto, satu uji klinik yang baik tolak ukurnya tidak boleh itu.
"Tapi perbaikan yang betul dirasakan manfaatnya oleh pasien, misalnya tadinya gak bisa ngurus diri sekarang bisa, tadinya gak bisa jalan sekarang bisa jalan. Itu tolak ukur yang benar," katanya.
Kemudian, penentuan sampel 75 orang dinilai MKEK tidak jelas. Terakhir, Terawan menggunakan prosedur diagnostik yang digunakan untuk prosedur terapiotik.
"Ini kalau saya analogikan, kalau ada seseorang yang batuk darah pergi ke dokter, dokternya mengatakan kamu rontgen dulu, setelah rontgen dokter bilang gak ada pengobatan lain. Pesan itulah yang jadi pengobatannya, jadi beralih fungsi yang sama sekali susah diterima nalar kita," beber Prof Rianto.
"Jadi kita akan bertanya mengapa para ilmuwan yang jadi pembimbing beliau pada melakukan desertasi diam saja. Saya dalam hal ini mengatakan hormat setinggi-tingginya pada Unhas, dan tim pembimbing mereka, karena sebetulnya tahu sejak semula weakness ini, cuma terpaksa mengiyakan karena konon ada tekanan eksternal yang tidak tau bentuknya apa," tandas Prof Rianto.