BANJARMASIN - Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan (Kajati Kalsel) Mukri meminta pendirian "restorative justice" (keadilan restoratif) di seluruh wilayah kabupaten dan kota di provinsi ini, untuk memudahkan koordinasi dalam penyelesaian perkara di luar peradilan.
"Dari 13 daerah, saya minta tiap kabupaten dan kota minimal ada tiga rumah restorative justice untuk segera dibangun," kata Mukri, di Banjarmasin, Sabtu 2 April.
Untuk pendiriannya, ujar Mukri, Kejaksaan setempat berkoordinasi dengan kepala desa, mengingat pembentukan rumah restorative justice harus berdasarkan peraturan desa (perdes) sebagai payung hukumnya.
Dia menyatakan keberadaan rumah restorative justice sangatlah strategis dalam rangka untuk mendamaikan suatu perkara yang sifatnya ringan dalam artian tidak perlu dibawa ke pengadilan. Sehingga sepanjang masih bisa diselesaikan di luar pengadilan, maka jaksa setempat mendorong agar keadilan restoratif diterapkan.
"Tapi kalau memang tidak bisa, baru dibawa ke pengadilan untuk tahapan penuntutannya," kata Kajati didampingi Asisten Tindak Pidana Umum Kejati Kalsel Indah Laila dikutip Antara.
Dia menegaskan, pada prinsipnya keadilan sejati adalah bisa diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara. Sementara proses hukum belum tentu bisa mendapatkan suatu keadilan.
Maka dari itu, hanya dengan jalan perdamaian tanpa proses hukum, keadilan sejati bisa diwujudkan setelah semua pihak bersepakat tanpa ada yang merasa dirugikan.
BACA JUGA:
Keadilan restoratif merupakan suatu pendekatan dalam memecahkan masalah yang melibatkan korban, pelaku, serta elemen-elemen masyarakat demi terciptanya suatu keadilan.
Keadilan restoratif bisa diterapkan jaksa dengan menghentikan penuntutan jika perkara dinilai lebih layak diselesaikan di luar jalur peradilan, dengan berpedoman pada Peraturan Kejaksaan Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Ada tiga syarat prinsip keadilan restoratif bisa ditempuh yaitu pelaku baru pertama kali melakukan pidana, ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun serta nilai kerugian perkara tidak lebih dari Rp2.500.000.
Namun ada pengecualian jika kerugian melebihi Rp2.500.000 tapi ancaman tidak lebih dari 2 tahun, ancaman pidana lebih dari 5 tahun asal kerugian tidak melebihi Rp2.500.000 serta kepentingan korban terpenuhi dan ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun.
Adapun lima perkara yang tidak bisa dihentikan penuntutannya dalam penerapan keadilan restoratif, yaitu pertama tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat presiden dan wakil presiden, mengganggu ketertiban umum dan kesusilaan. Kedua, tindak pidana yang diancam dengan pidana minimal. Ketiga, tindak pidana peredaran narkotika, lingkungan hidup dan korporasi.