Bagikan:

JAKARTA - Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Supardi mengungkapkan penggeledahan di Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dalam rangka mencari bukti impor baja dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi yang tengah ditangani jajarannya.

Menurut dia, pihaknya tengah mendalami kuota impor baja yang dikeluarkan oleh Kemenperin selaku pihak yang berwenang.

"Kami dalam kerangka mengumpulkan bukti, yang penting karena itu pihak terkait ekspor-impor terkait dengan kuota segala macam itu," kata Supardi dikutip Antara, Kamis, 31 Maret.

Penggeledahan itu dilakukan di Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin. Dalam penggeledahan itu, penyidik menemukan bukti elektronik.

Berbeda dengan penggeledahan yang dilakukan di Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada pekan lalu, jaksa penyidik menemukan sejumlah barang bukti yang disita di antaranya bukti elektronik berupa PC, laptop dan ponsel, dokumen surat penjelasan dan persetujuan impor (PI) terkait impor besi baja, serta uang tunai senilai Rp63.350.000.

Menurut Supardi, dalam penggeledahan penyidik tidak mesti menemukan barang bukti uang, karena tujuan penggeledahan adalah mencari bukti. Bukti tersebut belum tentu berupa uang, tapi bisa dokumen dan bukti elektronik.

"Karena kami menggeledah itu sudah ditentukan tempatnya. Kami menentukan tempatnya berdasarkan pemeriksaan-pemeriksaan sebelumnya. Oh, ini perlu digeledah, baru izin ke PN (pengadilan negeri)," tutur Supardi.

Diberitakan sebelumnya, penggeledahan juga dilakukan di kantor PT Prasasti Metal Utama yang beralamat di Jalan Buni Nomor 3a, Mangga Besar, Jakarta Barat. Dalam kegiatan itu, penyidik menggandeng tim digital forensik Kejaksaan.

Dari dua tempat yang digeledah, penyidik menyita dua barang bukti digital berupa satu unit personal computer iMac A 1311 dan file dump server http://intranew.kemenperin.go.id yang disimpan ke flash disk.

Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Ketut Sumedana menjelaskan, perkara dugaan tindak pidana terjadi pada rentang tahun 2016 sampai dengan 2021, ada enam perusahaan pengimpor besi atau baja, baja panduan dan produk turunannya menggunakan surat penjelasan (Sujel) atau perjanjian impor tanpa PI dan LS yang diterbitkan oleh Direktorat Impor Kementerian Perdagangan.

Sujel tersebut diterbitkan atas dasar permohonan importir dengan alasan untuk digunakan dalam rangka pengadaan material konstruksi proyek pembangunan jalan dan jembatan dengan dalih ada perjanjian kerja sama dengan empat BUMN.

Keempat BUMN tersebut, yakni PT Waskita Karya, PT Wijaya Karya, PT Nindya Karya dan PT Pertamina Gas (Pertagas).

"Setelah dilakukan klarifikasi, keempat BUMN tersebut ternyata tidak pernah melakukan kerja sama pengadaan material proyek, baik berupa besi atau baja dengan enam importir tersebut," ungkap Ketut.

Diduga enam importir tersebut juga melakukan impor baja paduan dengan menggunakan Sujel l tanggal 26 Mei 2020 dengan alasan untuk keperluan proyek pembangunan jalan dan jembatan, padahal dalam kenyataannya proyek jalan dan jembatan yang dimaksud sudah selesai dibangun pada tahun 2018.

"jadi dia (importir) mengaku-mengaku ini padahal proyek-nya sendiri sudah selesai," ungkapnya.

Dari hasil penyelidikan dan kini naik ke penyidikan, kata Ketut, telah ditemukan adanya indikasi penyimpangan penggunaan Sujel terkait pengecualian perizinan importasi besi atau baja, baja paduan dan produk turunannya yang dilakukan oleh enam importir tersebut.

Keenam importir tersebut, yaitu PT Jaya Arya Kemuning; PT Duta Sari Sejahtera; PT Intisumber Bajasakti; PT Prasasti Metal Utama; PT Bangun Era Sejahtera; dan PT Perwira Adhitama.

Berdasarkan hal tersebut, importir terindikasi melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 juhcto Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Jadi enam perusahaan melakukan impor tidak sesuai dengan peruntukannya dan ternyata memang tidak pernah melakukan perjanjian kerja sama dengan empat BUMN," ujar Ketut.