Bagikan:

JAKARTA - Komisi III DPR RI mengapresiasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas capaian Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tahun 2021 yang jumlahnya jauh melampaui target, yakni sebesar 244 persen atau senilai Rp 246,299 miliar. KPK sebelumnya menargetkan PNBP 2021 sebesar 100,9 persen. 

Bahkan di awal bulan Maret 2022, Ketua KPK Firli Bahuri mengaku capaian PNBP tahun ini sudah mencapai 64 persen. 

"Tidak bisa ditutup-tutupi, ini kinerja yang luar biasa dari rekan-rekan KPK saat ini," ujar Anggota Komisi III DPR RI Habiburokhman dalam Rapat Kerja di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu, 30 Maret.

Habiburokhman lalu menyoroti tentang pemberantasan korupsi di bidang sumber daya alam. Menurutnya, korupsi adalah kejahatan di bidang ekonomi. 

"Oleh karena itu tugas KPK bukan hanya menangkap sebanyak mungkin orang tetapi bagaimana menyelamatkan kerugian keuangan negara," katanya. 

Politikus Gerindra itu mengacungi jempol gerak cepat KPK dalam memberantas korupsi perizinan nikel di Konawe Utara dengan potensi kerugian negara 2,7 triliun. Dikatakannya, secara teknis yang terjadi jika menyangkut soal perizinan adalah suap.

"Kami merasa perlu menyampaikan bahwa yang dikejar nanti jangan hanya suapnya, tetapi siapapun yang menikmati perizinan ilegal tersebut sehingga akhirnya merugikan keuangan negara hingga nilai yang fantastis," katanya.

"Kalau suapnya paling (nilainya) berapa puluh miliar, tapi 2,7 triliun kerugian negara itu tidak langsung terkait dengan suapnya tetapi dinikmati oleh perusahaan yang menggunakan izin yang ilegal tersebut," sambung dia.

Habiburokhman berharap, KPK bisa mengusut dan mengejar korporasi-korporasi yang mengambil keuntungan dari perizinan yang ilegal itu. Misalnya di Konawe Utara, sejak tahun berapa itu terjadi, perusahaan mana saja yang sudah beroperasi, dan berapa keuntungannya. 

"Itu keuntungan ilegal. Jadi logikanya kalau kerugian keuangan negara 2,7 triliun maka yang harus kita kejar juga 2,7 triliun tersebut," bebernya.

Habiburokhman menekankan pihak yang bersalah tersebut harus bertanggung jawab. Dia meminta agar model penegakkan seperti itu menjadi standar. 

"Kalau KPK hanya mengejar suapnya saja pasti kecil sekali pemulihan keuangan negaranya, tetapi kalau dikejar korporasi-korporasi penikmat perizinan ilegal berdasarkan suap, baik kebun atau tambang, maka saya pikir bisa signifikan," ungkapnya.

Sementara terkait soal tata niaga minyak goreng, Habiburokhman menyatakan, ada ketidaknormalan dan penyimpangan hukum, serta diduga persoalan ini melibatkan penyelenggara negara. Dimana dampaknya sudah terlihat, bukan hanya merugikan negara tetapi secara langsung merugikan rakyat.

Oleh karena itu, Habiburokhman berharap agar KPK dapat berada di depan dalam pengusutan kasus ini. Dia minta KPK mengirim tim penyelidik untuk ikuti alur produksi minyak goreng dari awal sampai distribusi. 

"Saya yakin bisa segera tertangkap pelakunya. Jangan ragu, kalau korupsi di sektor ini saya pikir memenuhi kualifikasi untuk dituntut hukuman mati. Karena bukan saja terjadi di saat negara sedang krisis, mereka ini juga menyebabkan negara mengalami krisis," tandasnya.