Wakil Ketua Dewan Keamanan Moskow Nilai Rusia dan Jepang Tidak akan Pernah Mencapai Konsensus Soal Kepulauan Kuril
Presiden Rusia Vladimir Putin bersama Dmitry Medvedev. (Wikimedia Commons/Government.ru)

Bagikan:

JAKARTA - Rusia dan Jepang tidak akan pernah dapat mencapai konvensi mengenai Kepulauan Kuril, Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia Dmitry Medvedev menulis dalam sebuah unggahan Telegram.

"Rusia telah menolak untuk melanjutkan pembicaraan damai dengan. Dalam konteks Kepulauan Kuril, ini adalah langkah yang disetujui secara historis yang sudah lama dan adil," katanya, dikutip dari TASS 23 Maret.

Menurut Medvedev, 'jelas' bahwa Rusia dan Jepang tidak akan pernah mencapai kesepakatan mengenai hal tersebut.

"Kedua pihak mengetahuinya sebelumnya. Negosiasi mengenai Kuril selalu bersifat ritual," tandasnya.

Medvedev mencatat, Konstitusi Rusia yang diamandemen "secara langsung menetapkan wilayah negara tidak tunduk pada keterasingan". "Ini adalah masalah tertutup," tegasnya.

Mengikuti contoh Amerika, Jepang ingin bertindak seperti 'samurai independen yang bangga' dan menjatuhkan sanksi pada Rusia, dengan menunjukkan dengan siapa mereka akan merundingkan teks hipotetis perjanjian damai, kata Medvedev.

"Pembicaraan tidak lagi masuk akal. Dan itu baik-baik saja," tulis unggahan tersebut.

kepulauan kuril
Ilustrasi salah satu sudut Kepulauan Kuril. (Wikimedia Commons/Anatoly Gruzevich/VNIRO Russia)

Politisi itu mengatakan, jauh lebih penting untuk mengatasi perkembangan Kepulauan Kuril. Dia mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir, Rusia telah 'menghembuskan kehidupan baru ke' wilayah tersebut.

Selain itu, Medvedev juga menyebut telah mengunjungi pulau-pulau itu beberapa kali, mengambil langkah-langkah untuk mendukung mereka dan melihat peningkatan nyata, termasuk sekolah, jalan dan bandara.

"Dan yang paling penting, orang-orang lokal juga melihatnya. Itu juga akan terjadi di masa depan!" papar Medvedev.

Diberitakan sebelumnya, Moskow mengakhiri pembicaraan perjanjian damai dengan Tokyo, sehubungan dengan pembatasan sepihak yang baru diperkenalkan Jepang terhadap Rusia atas situasi di Ukraina, Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan pada Hari Senin.

Rusia dan Jepang diketahui mengalami sengketa terkait Kepulauan Kuril yang direbut Uni Soviet setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua, dalam invasi pada 18 Agustus dan 3 September 1945. Permasalahan kedua negara terkait kepulauan tersebut dan Kepulauan Sakhalin, mulai dibahas meski belum secara langsung sejak Perjanjian Shimoda 1855.

"Mengingat sifat tidak bersahabat dari pembatasan sepihak Jepang terhadap Rusia atas situasi di Ukraina, langkah-langkah berikut harus diambil. Dalam situasi saat ini pihak Rusia tidak berniat melanjutkan pembicaraan perjanjian damai dengan Jepang," sebut Kementerian Luar Negeri Rusia.

"Karena tidak mungkin untuk membahas penandatanganan perjanjian mendasar dalam hubungan bilateral, dengan negara yang secara terang-terangan mengambil sikap tidak bersahabat dan mencoba merugikan kepentingan negara kita," lanjut Kementerian Luar Negeri Rusia.

lapangan terbang di kepulauan kuril
Lapangan terbang di Kepulauan Kuril. (Wikimedia Commons/Vera.vvo)

Disebutkan, keputusan telah dibuat untuk menghentikan perjalanan bebas visa oleh warga negara Jepang, berdasarkan perjanjian pertukaran bebas visa antara Kepulauan Kuril Selatan Rusia dan Jepang tahun 1991. Serta, perjanjian 1999 tentang aturan perjalanan sederhana bagi orang Jepang yang ingin untuk mengunjungi bekas tempat tinggal mereka di pulau-pulau.

"Karena tidak mungkin untuk membahas penandatanganan perjanjian mendasar dalam hubungan bilateral, dengan negara yang secara terang-terangan mengambil sikap tidak bersahabat dan mencoba merugikan kepentingan negara kita," lanjut Kementerian Luar Negeri Rusia.

Disebutkan, keputusan telah dibuat untuk menghentikan perjalanan bebas visa oleh warga negara Jepang, berdasarkan perjanjian pertukaran bebas visa antara Kepulauan Kuril Selatan Rusia dan Jepang tahun 1991. Serta, perjanjian 1999 tentang aturan perjalanan sederhana bagi orang Jepang yang ingin untuk mengunjungi bekas tempat tinggal mereka di pulau-pulau.

Sebagai respon, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mengatakan dia sangat menentang keputusan Rusia, menyebutnya tidak adil dan sama sekali tidak dapat diterima.

"Seluruh situasi ini telah diciptakan oleh invasi Rusia ke Ukraina. Reaksi Rusia untuk mendorong ini (sanksi) ke dalam hubungan Jepang-Rusia sangat tidak adil dan sama sekali tidak dapat diterima," tegasnya, seraya menambahkan sikap Jepang dalam mencari perjanjian damai tidak berubah, memprotes langkah yang ditempuh Rusia, seperti melansir Reuters.

"Jepang harus dengan tegas terus memberikan sanksi kepada Rusia dalam kerja sama dengan seluruh dunia," tegasnya.

Terpisah, Kepala Sekretaris Kabinet Hirokazu Matsuno mengatakan Jepang telah mengajukan protes kepada Duta Besar Rusia di Tokyo.

Diketahui, Jepang telah memberlakukan sanksi terhadap 76 individu, tujuh bank dan 12 badan lainnya di Rusia, yang terbaru pada Hari Jumat, termasuk pejabat pertahanan dan pengekspor senjata milik negara, Rosoboronexport.

Jepang pekan lalu juga mengumumkan rencana untuk mencabut status perdagangan negara yang paling disukai Rusia dan melarang impor produk tertentu.