Bagikan:

JAKARTA - Pejabat militer Rusia mengkritik taktik yang digunakan nasionalis Ukraina, menyamar sebagai warga sipil untuk keluar dari Kota Mariupol, memanfaatkan koridor kemanusiaan.

Direktur Pusat Manajemen Pertahanan Nasional Rusia Kolonel Jenderal Mikhail Mizintsev mengatakan, pejabat Kyiv memerintahkan anggota batalion nasionalis di Mariupol untuk meninggalkan kota tersebut, dengan menyamar sebagai warga sipil, termasuk menggunakan koridor kemanusiaan.

"Dalam konteks pernyataan resmi oleh Kyiv tentang penolakannya untuk melakukan operasi kemanusiaan, dan para militan untuk meletakkan senjata mereka, mereka dengan munafik menginstruksikan batalion nasionalis untuk meninggalkan kota dalam kelompok-kelompok kecil dengan kedok warga sipil, berpakaian sipil," ujar Mizintsev, dikutip dari TASS 22 Maret.

"Menggunakan kesempatan apa pun, termasuk koridor kemanusiaan. Dan para bandit segera mulai melaksanakan perintah ini," sambungnya.

Lebih jauh Mizintsev mengungkapkan, pada 20 Maret, pejuang dari Batalion Azov membunuh orangtua dari dua anak. Kemudian, menggunakan anak-anak ini sebagai kedok, berusaha pergi ke Zaporozhe dengan menggunakan mobil milik keluarga tersebut.

"Tapi mereka diidentifikasi dan segera ditahan oleh tentara Rusia. Anak-anak tersebut diselamatkan, mereka diberikan bantuan yang diperlukan," pungkas Mizintsev.

Sebelumnya, Mizintsev menuding kelompok nasionalis sedang merencanakan serangan kimia di beberapa wilayah Ukraina, jika pasukan Rusia memasuki wilayah tersebut.

"Nasionalis telah menempatkan ranjau di fasilitas penyimpanan amonia dan klorin di pabrik kimia Sumykhimprom di Sumy, untuk meracuni penduduk wilayah Sumy jika pasukan Rusia memasuki kota," tuturnya.

"Di pemukiman Kotlyarovo, wilayah Nikolayev, militan unit nasionalis merencanakan provokasi dengan penggunaan bahan kimia beracun. Untuk tujuan ini, mereka telah menempatkan wadah dengan bahan kimia beracun di gedung sekolah menengah, yang akan meledak ketika Rusia pasukan mendekati pemukiman," tutur Mizintsev.

Mizintsev menambahkan, hal itu dilakukan dengan dukungan dari Amerika Serikat dan sejumlah negara Uni Eropa, yang menganggap Ukraina sebagai instrumen kebijakan anti-Rusia.