JAKARTA - Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKS Bukhori Yusuf mengkritik istilah 'subsidi' dalam penyebutan dana jemaah haji. Pasalnya, kata dia, dana yang selama ini disebut 'subsidi' itu sejatinya berasal dari dana milik jemaah yang dititipkan kepada Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) untuk dikelola.
Menurutnya, penggunaan istilah subsidi bagi jemaah haji perlu dikaji ulang demi menempatkan kedudukan jemaah haji secara terhormat. Selain itu, kata Bukhori, istilah subsidi tidak tidak ada dalam Undang-Undang.
“Selain menimbulkan kesan yang merendahkan martabat jemaah, penggunaan istilah subsidi juga tidak ditemukan dalam UU 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji," ujar Bukhori kepada wartawan, Rabu, 23 Maret.
Anggota Badan Legislasi ini menilai, BPKH harus menggunakan logika peraturan perundang-undangan sehingga tepat dalam melihat kedudukan jemaah haji. Bukhori pun menjelaskan bunyi UU 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, tepatnya pada Pasal 6 dan Pasal 7.
Di Pasal 6 disebutkan,“Setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan ke rekening atas nama BPKH dalam kedudukannya sebagai wakil yang sah dari Jamaah Haji pada Kas Haji melalui BPS BPIH”.
Sementara di Pasal 7 berbunyi, “Setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a merupakan dana titipan Jamaah Haji untuk Penyelenggaraan Ibadah Haji”.
Sebagai tambahan, di bagian penjelasan Pasal 7 Ayat (1) juga diterangkan bahwa dana titipan jemaah haji merupakan dana yang tidak dicatat dalam APBN.
"Atas dasar itu, kami memandang perlu dilakukan pengkajian ulang terhadap istilah tersebut demi terwujudnya prinsip keadilan dan proporsionalitas dalam melihat isu jamaah haji,” jelasnya.
Bukhori mengungkapkan, pada 2021, realisasi dana yang dikelola oleh BPKH menembus Rp158,77 triliun dengan total nilai manfaat sebesar Rp 10,51 triliun. Dana yang dikelola tersebut berasal dari dana setoran 270.534 jemaah yang dikelola BPKH melalui dua instrumen, yakni investasi (71 persen) dan penempatan di Bank Syariah (29 persen).
Oleh karena itu, menurutnya, ada persepsi yang mesti diluruskan terkait penggunaan istilah subsidi bagi jemaah haji. Sebab, dana yang selama ini dianggap sebagai subsidi sebenarnya bersumber dari setoran jemaah yang dikelola oleh BPKH, sehingga menghasilkan nilai manfaat.
“Nilai manfaat inilah yang digunakan untuk menanggulangi biaya riil penyelenggaraan ibadah haji. Dengan demikian, tidak tepat jika nilai manfaat ini disebut subsidi,” tandasnya.
Sebelumnya, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menyarankan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) tahun 1443H/2022 tidak mengalami kenaikan. BPKH meminta Komisi VIII DPR ikut mengusulkan agar Bipih tahun ini tidak naik.
Kementerian Agama sebelumnya mengusulkan biaya pelaksanaan ibadah haji tahun ini naik menjadi Rp42 juta per jemaah.
Dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VIII DPR, Kepala BPKH Anggito Abimanyu, menjelaskan anggaran yang disusun terkait dana pengelolaan ibadah haji sebesar Rp156,233 triliun. Jumlah ini sama dengan tahun lalu lantaran uangnya tidak terpakai.
Anggito berharap tahun ini Indonesia sudah bisa memberangkatkan jamaah ke tanah suci agar dana pengelolaannya tidak bertambah tinggi.
"Tahun ini diharapkan ada keberangkatan haji 100 persen, kalau tidak nanti dana pengelolaannya akan lebih tinggi," ujar Anggito Abimanyu saat rapat di gedung DPR, Senin, 21 Maret.
BPKH juga meminta Komisi VIII DPR dan Kemenag agar dapat memastikan jumlah kuota haji agar kebutuhan dana bisa ditetapkan segera. Dia menyarankan agar biaya perjalanan haji tahun ini tidak naik.
"BPKH menyarankan agar Komisi VIII bisa memfasilitasi kepastian kuota haji, ikut menyarankan agar biaya perjalanan haji tidak naik, Bipih dapat disesuaikan, kontribusi APBN dalam prokes, dan negosiasi penangguhan pajak," katanya.
Selain itu, Anggito mengungkapkan, pihaknya belum mendapatkan kepastian dari Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag terkait jumlah Bipih. Soal subsidi haji, jelas dia, pernah bertambah pada tahun 2016 dan subsidi yang seimbang dengan Bipih pada 2019 lalu.
"Dulu 2013 itu porsi subsidinya jauh lebih kecil (Rp 13,9 juta) daripada Bipihnya (Rp 33,9 juta). 2016 porsi Bipih tetap (Rp 34,6 jt) tapi subsidi ditambah cukup besar (Rp 25,4 juta). Kemudian 2019 itu seimbang antara subsidi dan Bipih (Rp 35,4 juta dan Rp 35,2 juta), beban jamaah dan subsidi tetap. Tahun 2022, kami baru mendengar mengenai rancangan Bipih," jelasnya.
BACA JUGA:
Namun, Anggito mengatakan, pihaknya belum mendapatkan dokumen dari PHU terkait rancangan Bipih tersebut.
"Kami terus terang dokumennya belum kami dapatkan dari PHU. Mereka belum berikan. Kami menunggu saja apa kebijakan dari Kemenag dan apa arahan dari Komisi VIII kami akan memenuhi. Dari keuangan Insyaallah kami penuhi," katanya.