Bagikan:

JAKARTA - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyayangkan keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memvonis lepas kedua polisi terdakwa kasus penembakan laskar FPI dalam tragedi KM 50.

Pengacara publik LBH Jakarta, Fadhil Alfathan mengungkapkan, vonis lepas bagi anggota kepolisian yang didakwa melakukan pembunuhan di luar proses hukum menjadi preseden buruk bagi kepolisian dalam tindakannya.

Bahkan, berkaca dari kasus ini, Fadhil khawatir tindakan unlawful killing akan terus berulang.

"Bukan tidak mungkin, ke depannya tindakan-tindakan pemolisian serupa terus berulang dan pelakunya melenggang bebas tanpa hukuman karena lembaga peradilan yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan telah berubah menjadi sarana impunitas," kata Fadhil dalam keterangannya, Minggu, 20 Maret.

Fadhil mencermati, dalam persidangan, ditemukan fakta bahwa para laskar sudah dalam kekuasaan polisi dan pembunuhan di luar hukum tersebut dilakukan karena para laskar melakukan perlawanan dan mencoba merebut senjata petugas saat hendak dibawa ke Polda Metro Jaya.

Terlebih, berdasarkan SOP penggunaan senjata api yang ditetapkan oleh Bareskrim Polri, mewajibkan senjata api yang dipegang oleh petugas harus berada dalam holster yang melekat pada badan petugas, sehingga tidak mudah merebut senjata milik petugas dan perlawanan tersebut seharusnya dapat dihentikan tanpa membunuh.

"Dengan demikian, pembelaan terpaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 49 KUHP yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim dengan alasan adanya perlawanan para laskar menjadi tidak tepat," urainya.

Bahkan, kata Fadhil, kasus ini sejak semula sudah menunjukkan berbagai kejanggalan, mulai dari penetapan tersangka terhadap enam Laskar FPI yang sudah meninggal dunia hingga tidak ditahannya para Terdakwa mulai dari tingkat penyidikan sampai putusan tingkat pertama dijatuhkan.

"Sulit untuk melihat tidak ditahannya para terdakwa tersebut sebagai hal yang wajar, mengingat perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa adalah perbuatan yang menghilangkan nyawa orang lain. Terlebih, tindakan tersebut dilakukan dalam kapasitasnya selaku aparatur negara, serta ancaman pidana yang dilakukan oleh para terdakwa telah memenuhi ketentuan Pasal 21 ayat (4) KUHAP," imbuh Fadhil.

Sebagaimana diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutuskan dua polisi terdakwa pembunuhan sewenang-wenang (unlawful killing) terhadap anggota Front Pembela Islam (FPI) lepas dari hukuman pidana meskipun dakwaan primer jaksa terbukti.

Perbuatan Brigadir Polisi Satu (Briptu) Fikri Ramadhan dan Inspektur Polisi Dua (Ipda) Mohammad Yusmin Ohorella tidak dapat dikenai pidana karena masuk dalam kategori pembelaan terpaksa dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas.

"Dengan demikian, Briptu Fikri dan Ipda Yusmin tidak dapat dijatuhi pidana karena alasan pembenaran dan pemaaf, " kata Hakim Ketua M. Arif Nuryanta dalam putusan yang dibacakan saat sidang di PN Jakarta Selatan, Jumat, 18 Maret.

Dalam pertimbangannya, hakim menerangkan alasan pembenaran itu menghapus perbuatan melawan hukum yang dilakukan Briptu Fikri dan Ipda Yusmin, sementara alasan pemaaf menghapus kesalahan kedua polisi tersebut.

Tindakan melawan hukum terdakwa ialah merampas nyawa orang lain dengan menembak empat anggota FPI di dalam mobil Xenia milik polisi pada 7 Desember 2020. Perbuatan pidana itu, sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHP, masuk dalam dakwaan primer jaksa.