Bagikan:

JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) meluruskan isu yang beredar di masyarakat bahwa label halal diambil alih Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag).

Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh, menjelaskan label halal merupakan wilayah administrasi negara. Hal ini sudah berlaku sebelum dan setelah adanya Undang-undang Jaminan Produk Halal (JPH).

“Maka narasi sebagian orang yang menyatakan bahwa label halal berpindah dari MUI ke BPJPH, atau BPJPH mengambil alih label halal dari MUI ke BPJPH itu tidak benar. Didasarkan kepada riwayat kesejarahannya,”ujarnya di Gedung MUI, Jakarta Pusat, Jumat 18 Maret.

Kiai Asrorun mengatakan, baik sebelum dan setelah Undang-undang JPH, MUI selama ini hanya melakukan tugas dan fungsi untuk menerbitkan sertifikasi halal melalui proses pemeriksaan, pemfatwaan, dan penerbitan sertifikasi halal atas mandat oleh negara kepada MUI.

“Tapi kalau label halal, baik sebelum maupun sesudah UU JPH. MUI tidak masuk diranah itu,” kata dia menambahkan.

Kiai Asrorun menuturkan, sebelum adanya Undang-undang JPH, kewenangannya berada di Departemen Kesehatan (Depkes) serta Badan POM. Hal ini didasarkan kepada label pangan yang menjadi domainya Badan POM atas dasar Undang-undang Nomer 18 Tahun 2012 Tentang Pangan.

“Dimana label pangan salah satunya memuat keterangan halal dan berikutnya Badan POM membangun kesepahaman bahwa bentuk keterangan halal itu mengikuti MUI. Jadi Badan POM yang memberikan delegasi, seperti MoU Badan POM 2013,” ungkapnya dilihat dari laman resmi MUI.

Lebih lanjut, Asrorun Niam menceritakan, sebelum Undang-undang Pangan, ketentuan label halal diatur dalam piagam kerja sama antara Depkes, Departemen Agama (Depag), dan MUI.

Dalam MoU tersebut, kata dia, diatur bahwa pelaksanaan pencantuman label didasarkan atas pembahasan bersama oleh Depkes, Depag, dan MUI.

“Jadi intinya, perpindahan kewenangan label halal ini bukan dari MUI ke BPJPH. Tetapi dari Badan POM ke BPJPH, atau sebelumnya Depkes ke BPJPH,” tegasnya.

Saat ini, setelah adanya UU JPH, Asrorun Niam menuturkan bahwa BPJPH memiliki wewenangan untuk menetapkan label yang berlaku secara nasional.

“Hanya saja, pada saat Badan POM dulu menjadikan keterangan Halal dari MUI sebagai pilihan itu pertimbangannya historis, sosiologis, keagamaan, juga keterimaan masyarakat,” ujarnya.

Sementara itu, perihal label halal sekarang ini, menurut Kiai Asrorun, bahwa hal ini didasarkan kepada BPJPH atas Undang-undang Nomer 40 Tahun 2022 Tentang Penetapan Label Halal.

MUI, kata Kiai Asrorun, melihatnya secara proporsional karena ini memang terkait dengan tugas pokok, fungsi, dan kewenangan BPJPH sesuai dengan undang-undang.

Hanya saja, lanjutnya, karena ini menyangkut kebijakan publik, idealnya menyerap aspirasi publik. Terutama para pemangku kepentingan seperti pegiat halal, seniman, dan juga para ahli di bidangnya.

“Penetapan label halal itu termasuk di dalamnya bagian dari mata rantai yang tak terpisahkan dari proses sertifikasi halal. Idealnya memang ada diskusi publik, khususnya pemangku kepentingan,” katanya.

Kiai Asrorun menyatakan, MUI berharap, ada proses diskusi yang mendalam nantinya terkait dengan persoalan yang menyangkut hak publik oleh seluruh pemangku kepentingan, khususnya lembaga keagamaan, jika itu terkait dengan masalah keagamaan.