JAKARTA - Bareskrim Polri berhasil membongkar praktik pembuatan oli palsu di Penjaringan, Jakarta Utara. Dari temuan ini, pelaku berinisial RP ditangkap.
Kabagpenum Divisi Humas Polri, Kombes Gatot Repli Handoko menjelaskan, pengungkapan tindak pidana ini berdasarkan laporan masyarakat. Laporan tersebut dibuat pada 23 Desember 2021 lalu.
“Pelaku melakukan penjualan oli palsu tersebut sejak tahun 2017 sampai dengan 2021,” kata Gatot dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa 15 Maret.
Gatot bilang, penyidik melakukan penggeledahan di dua tempat produksi milik pelaku. Yakni di pergudangan sentra industri terpadu tahap 1 dan 2 Blok J 1, Jalan Pantai Indah Barat, Kamal Muara, Penjaringan, Kota Jakarta Utara dan kompleks pergudangan Arcadia Blok G 17, Batu ceper, Kota Tangerang, Banten.
Gatot menjelaskan, pelaku pada awalnya membeli bahan baku oli di drum-drum berkapasitas 200 liter ke sebuah perusahaan. Kemudian bahan tersebut dipindahkan ke botol kosong oli baru, lalu ditempelkan stiker sesuai warna dan merk dagang.
“Setelah botol terisi oli dan tutup diberi nomor, setelah botol-botol berstiker berisi oli dan ditutup dimasukan ke dalam dus-dus sesuai merk dagang untuk kemas dan dipasarkan,” tuturnya. Namun tidak dijelaskan oli palsu ini dipasarkan di kawasan mana saja.
“Pelaku juga tidak memiliki kerja sama dengan para pemilik merek oli yang sudah terdaftar tersebut, dan juga oli yang dijual oleh pelaku tersebut juga tidak sesuai dengan standar mutu oli yang tertera pada label di botol oli tersebut,” sambungnya.
BACA JUGA:
Untuk membuat oli palsu, pelaku membutuhkan bahan baku oli dalam lima hari kerja sebanyak 1.800 botol atau sebanyak 75 drum. Sehingga, kebutuhan total dari bahan baku sebanyak 15.000 liter.
“Dengan modal pelaku sekitar Rp400 juta sampai dengan Rp500 juta untuk kebutuhan selama tiga minggu. Sehingga dalam 1 minggu membutuhkan modal sekitar Rp100 juta sampai dengan Rp200 juta dengan keuntungan dari uang hasil penjualan oli palsu dalam 5 hari kerja sekitar Rp75 juta,” ujar Gatot.
Atas perbuatannya, tersangka dijerat Pasal 62 ayat (1) jo Pasal 8 ayat 1 huruf a dan e Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan/atau Pasal 100 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.