JAKARTA - Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok blak-blakan membongkar aib PT Pertamina (Pertamina). Aksi Ahok itu menuai sorotan publik. Ahok menyebut direksi perusahaan pelat merah ini punya hobi melobi menteri hingga memiliki gaji besar meskipun sudah dipecat dan direksi yang lebih suka berutang.
Menanggapi hal ini, Ketua Komisi VI Faisol Riza mengatakan, lobi-lobi dalam pemilihan direksi di perusahaan pelat merah merupakan hal yang wajar. Namun, kata dia, terpilih atau tidaknya calon pun harus melalui seleksi dengan berbagai kriterianya yang harus dipenuhi.
"Kira-kira kalau pemilihan direksi latar belakangnya ada politis ada lobi-lobi ya biasa saja. Tetapi saya kira yang paling penting calon yang bersangkut itu harus memenuhi kriteria, yang sudah ditetapkan baik secara profesional maupun integritas dan latar belakangnya," ucapnya, saat dihubungi VOI, Kamis, 17 September.
Menurut Faisol, selama kriteria dan syarat yang diwajibkan terpenuhi, tidak ada masalah. Katanya, hal seperti ini pun lazim dilakukan perusahaan pelat merah di berbagai negara.
"Saya kira biasa saja dan tidak ada yang aneh. Di seluruh dunia juga begitu kalau yang namanya BUMN atau perusahaan pelat merah milik pemerintah. Jadi jangan terlalu heran lah kalau soal itu," katanya.
Sependapat, anggota Komisi VI Fraksi Gerindra Supratman Andi Agtas mengatakan, pemilihan direksi sekelas perusahaan strategis seperti Pertamina tidak mungkin secara asal. Apalagi, harus dilaporkan langsung kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Lebih lanjut, Supratman menjelaskan, pergantian direksi Pertamina juga harus dengan persetujuan presiden. Lobi-lobi pun akan percuma jika tidak disetujui oleh presiden.
"Kalau sekelas Pertamina seingat saya itu harus disetujui oleh presiden. Itu tidak bisa semberangan. Mana mungkin semacam direksi Pertamina itu dipilih sembarang orang dan tidak diketahui oleh presiden. Tidak mungkin," ucapnya.
Supratman mengatakan, apa yang menjadi catatan Ahok sebetulnya memilih semangat yang sama dengan apa dilakukan oleh Menteri BUMN Erick Thohir yaitu bagaimana perusahaan milik negara bisa efisien dan memiliki produktivitas semakin baik.
"Komisi VI dalan UU prioritas kan sedang menggodok UU BUMN, mungkin dalam perkembangannya akan dilihat ke mana sih arah politik hukum kita dalam sisi regulasi Kementerian BUMN. Bisa saja dalam pembahasannya, usulan usulan (Ahok) itu pasti akan dibicarakan," katanya.
Komentar Ahok Tamparan untuk Pemerintah
Ekonom Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menilai, pernyataan Ahok yang mengatakan direksi Pertamina ada yang hobi melobi pemerintah merupakan tamparan keras atau menampar pemerintah sendiri.
"Artinya ini mengindikasikan ada menteri yang rawan di lobi dan suka juga dilobi. Kalau apa yang disampaikan Pak Ahok itu nyata dan valid sebenarnya itu kritik bukan hanya pada direksi tapi juga menteri," kata Abra.
Menurut Abra, dalam konteks ini menteri atau pemerintah sebetulnya bagian kepentingan yang Ahok harus jaga, karena Ahok merupakan representasi dari pemerintah.
Lebih lanjut, Abra mengatakan, sebagai komisaris Ahok memiliki hak untuk mengawasi dan melaporkan jika terbukti ada direksi yang suka melakukan lobi-lobi. Laporan ini, kata dia, bisa disampaikan sebelum dilakukan rapat umum pemegang saham (RUPS).
BACA JUGA:
"Dan (setelah itu) direkomendasikan apakah patut untuk dipertahankan atau dicopot. Jadi saya pikir sebetulnya komisaris ini kepanjangan tangan, mata, telinganya pemerintah. Jadi mestinya enggak perlu diumbar di luar, tapi cukup di dalam internal pemerintah," katanya.
Abra mengaku khawatir kritik-kritik yang bertubi-tubi dilakukan oleh Ahok sebagai komisaris, akan menimbulkan kegaduhan ke publik, tapi juga menimbukkan fitnah baru di kementerian dan pemerintah.
"Justru ini menimbulkan instabilitas politik karena ada rasa kecurigaan nih, karena ternyata ada menteri loh yang bisa dilobi direksi BUMN. Terus juga akan merusak reputasi BUMN. Kan dampaknya bukan hanya ke Pertamina, tapi punya dampak negatif ke BUMN-BUMN yang terbuka, yang sudah listing di pasar modal. Kan dilihat apakah betul begitu? takutnya dipukul rata, justru akan memunculkan distrust bagi investor terhadap BUMN," jelasnya.
Kemudian, dari sisi gaji pejabat Pertamina yang besar, kata Abra, dirinya merasa cukup aneh jika Ahok tak mengetahuinya. Dewan komisaris, bekerja dibantu oleh beberapa komite remunerasi untuk menyetujui besaran gaji atau tunjangan buat komisaris dan direksi.
"Jadi agak lucu jika komisaris tidak tahu dan merasa dilangkahi tentang kok ada pejabat yang gajinya masih sama. Kalau pun itu terjadi maka fungsi dari komisaris tidak berjalan. Harusnya kan dia punya kewenangan itu untuk mengatur, merasionalisasi itu di internal," katanya.
Jika benar ada direksi Pertamina yang masih mendapat fasilitas gaji besar meskipun sudah dicopot dari jabatan, menurut Abra Ahok telah kebobolan dalam menjalankan tugasnya sebagai komisaris.
"Kebobolan. Entah dalam artian dia tidak mampu mengendalikan remunerasi di internal perusahaan atau dia tidak tahu. Tapi tidak mungkin tidak tahu, dia kan sebagai komisaris dibantu dengan komite remunerasi harusnya tahu, kan disepakati oleh komisaris. Jadi banyak hal yang cukup anomali statement-statement itu yang kelihatannya jadi enggak masuk akal. Karena semuanya pasti harus melalui pintu komisaris dan disetujui oleh komisaris," jelasnya.