JAKARTA - Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengatakan pelaksanaan pemungutan suara pilkada serentak 2020 bisa saja ditunda kembali dengan alasan kasus COVID-19 yang mengkhawatirkan. Apalagi banyak pelanggaran protokol kesehatan terjadi.
Menurut Titi, opsi penundaan diatur dalam Pasal 201A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 yang merupakan penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 soal pelaksanaan pilkada di masa pandemi COVID-19.
"Kalau ada pejabat publik yang mengatakan tidak usah diskusi soal penundaan karena hampir mustahil. Bagaimana kita tidak diskusi soal penundaan, instrumen hukumnya saja memungkinkan kita untuk berdiskusi soal penundaan itu," kata Titi dalam diskusi webinar, Kamis, 17 September.
Dalam Pasal 201A, pemungutan suara serentak di 270 daerah yang mengikuti Pilkada 2020 dapat ditunda karena terjadi bencana nonalam.
Kemudian, ada ketentuan yang mengatakan apabila pemungutan suara serentak tidak dapat dilaksanakan, pemungutan suara ditunda dan dijadwalkan kembali setelah bencana nonalam berakhir.
"Pemungutan suara itu bisa ditunda kembali apabila tidak dapat dilaksanakan karena pandemi COVID-19 belum berakhir. Penundaan ini bisa melalui mekanisme yang disepakati oleh KPU, pemerintah, dan DPR," ucap Titi.
Hanya saja, kata Titi, UU Nomor 6 Tahun 2020 tak menjelaskan dalam kondisi yang bagaimana bisa dikatakan bencana telah berakhir dan pemungutan suara dapat dilanjutkan kembali.
"Dulu kita berharap KPU membuat peraturan KPU yang menterjemahkan pasal 201 A ini. Sayangnya, KPU itu tidak kunjung mengatur," ungkapnya.
Jika penundaan pemungutan suara di semua daerah sulit dilakukan karena ketidakjelasan aturan, maka KPU bisa menunda pelaksanaan pemungutan suara di beberapa daerah atau secara parsial.
Titi mengatakan, penundaan secara parsial atau per daerah itu bisa lebih sederhana untuk dilakukan, karena diatur di Pasal 122 Undang-Undang nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
"Dalam hal beberapa daerah, desa, kelurahan, Kecamatan itu oleh KPU Kabupaten Kota. Tetapi kalau di beberapa kabupaten kota itu oleh KPU provinsi. Mekanisme ini tak memerlukan kesepakatan dengan pemerintah dan DPR," ujar Titi.
"Jadi, meski kita desainnya pilkada serentak, tetapi ada kemungkinan untuk menunda daerah per dengan beberapa sebab, itu aturannya ada di Pasal 210 Perppu yang sudah menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020," lanjutnya.
Selain Titi, ada juga sejumlah koalisi masyarakat sipil yang mendesak agar pelaksanaan Pilkada ditunda. Menanggapi hal ini, Kabag Perundang-Undangan Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Saydiman Marto menyebut, opsi penundaan memang bisa terjadi.
BACA JUGA:
Meski begitu, Saydiman menyebutkan beberapa pertimbangan yang membuat penundaan Pilkada 2020 hampir tidak dimungkinkan untuk ditunda kembali.
"Saya tidak bilang Pilkada 2020 tidak mungkin dimundurkan karena ini kesepakatan semua stakeholder. Tapi, ada beberapa pertimbangan logis dan realistis yang mungkin menjadi gambaran mengapa pilkada mesti dilaksanakan," kata Saydiman.
Keengganan untuk menunda Pilkada 2020 juga terlihat dari sisi partai politik sebagai peserta. politikus PDIP Johan Budi mengatakan, masih ada waktu 6 bulan lagi untuk pelaksanaan pilkada.
Anggota Komisi II DPR RI ini mempercayakan kepada KPU selaku pelaksana pilkada untuk mempertimbangkan hal ini.
"Pelaksanaan Pilkada serentak akan dilakukan bulan September. Masih 6 bulan ke depan. Saya yakin KPU melakukan mitigasi terhadap persoalan penyebaran virus Corona ini," kata Johan.