Sosiolog: Ironi, Preman Jelas Tak Disiplin Tapi Diminta Bantu Penegakan Disiplin Protokol Kesehatan
Ilustrasi keadaan pasar yang ramai kerumunan masyarakat (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Sosiolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Tantan Hermansyah menyoroti rencana pemberdayaan preman pasar untuk membantu mengawasi penerapan protokol kesehatan. Tantan menyebut pelibatan ini sebagai ironi karena preman dinilai hidup dalam ketidakdisiplinan.

Selain itu, langkah pemberdayaan preman pasar dianggap memperlihatkan kebuntuan yang dialami Polri untuk mendisiplinkan masyarakat dalam penerapan protokol kesehatan di tempat umum saat pandemi COVID-19. Ketimbang merekrut preman atau jeger, sebaiknya, polisi memanfaatkan masyarakat yang sedang tidak memiliki pekerjaan karena pandemi.

"Preman itu hadir dan hidup bukan karena dia disiplin tapi karena dia bertentangan dengan sistem kedisplinan masyarakat. Jadi kalau kemudian preman malah menjadi bagian dari institusi penegakan disiplin itu malah ironi kuadrat, sudah jelas mereka tidak disiplin, mereka juga belum tentu bisa disiplin," kata Tantan saat dihubungi wartawan, Kamis, 17 September.

Pelibatan preman atau jeger ini, menurut Tantan berpotensi menimbulkan masalah baru. Bukan tak mungkin saat preman diberi kuasa, malah mengambil keuntungan bagi diri sendiri. Apalagi, basis utama kegiatan mereka adalah transaksi ekonomi.

"Apakah ketika mereka jadi penegak disiplin mereka tidak bisa menjadi kelompok baru yang bertransaksi juga? Apakah mereka tidak akan malah mentransaksikan ketidakdisiplinan masyarakat untuk kepentingan jangka pendek mereka? Ini masalah yang tidak kalah beratnya," tuturnya.

Tantan menegaskan melibatkan preman atau jeger dalam meningkatkan kedisiplinan masyarakat di tengah pandemi COVID-19 sudah jelas tidak efektif, tak bermanfaat meski entitas ini juga bagian dari masyarakat. Sebab, menjadikan preman sebagai bagian dalam suatu sistem justru bakal mengancam sistem itu sendiri.

"Bisa jadi malah lebih jauh akan memperburuk citra kepolisian," tegasnya.

Sebelumnya, Polri menyatakan bakal menggandeng ‘preman’ atau orang yang disegani agar masyarakat mau menerapkan protokol kesehatan terutama di pasar-pasar tradisional yang belakangan kerap muncul kasus positif COVID-19.

Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono mengatakan, saat preman mengawasi masyarakat tentu pihaknya juga akan mengawasi secara langsung.

"Kita juga berharap penegakan disiplin internal di klaster-klaster pasar. Di situ kan ada jeger-jeger nya. Kita harapkan menerapkan disiplin tapi tetap diarahkan oleh TNI Polri dengan cara-cara humanis," ujar Gatot kepada wartawan, Kamis, 10 September.

Namun, jika pelibatan preman atau orang yang disegani itu tetap tidak berjalan efektif, maka, Polri akan mengambil tindakan lainnya. Nantinya, bakal dilakukan pendisiplinan secara tegas terhadap masyarakat yang membandel. 

"Kalau tidak mampu pendisiplinan itu maka nanti akan kita lakukan dengan operasi Yustisi itu," kata Gatot.

Setelah pernyataan ini muncul, sejumlah tokoh meminta agar Polri melakukan kajian kembali. Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, misalnya, menyarankan Polri mempertimbangkan dan menghitung secara cermat rencana pemberdayaan preman pasar untuk membantu pengawasan protokol kesehatan terhadap pengunjun pasar.

Politikus Golkar ini khawatir kebijakan ini akan menimbulkan dampak psikologis. Sebab, pemahaman publik bahwa hadirnya preman sangat meresahkan dan menganggu.

"Menyarankan agar Polri mempertimbangkan dan menghitung secara cermat dampak dan ekses yang akan muncul jika preman pasar dilibatkan, termasuk dampak psikologis bagi masyarakat secara luas khususnya pedagang di pasar, mengingat pemahaman publik selama ini bahwa hadirnya preman untuk beberapa kondisi sangat meresahkan dan mengganggu kamtibmas," kata Bambang dalam pernyataannya, Selasa, 14 September.

Lebih jauh, dia mendorong Polri menggandeng pimpinan PD Pasar Jaya, tokoh masyarakat dari berbagai kalangan, tokoh agama, tokoh adat dan tokoh-tokoh organisasi masyarakat untuk mengawasi serta melakukan sosialisasi protokol kesehatan.

Hal ini bertujuan untuk mendongkrak kedisiplinan masyarakat mengingat peran tokoh-tokoh dinilai lebih efektif dan dibutuhkan dan mendorong Polri tetap objektif dan selalu terukur dalam setiap mengambil langkah dan kebijakan untuk melayani serta mengayomi masyarakat.