Bagikan:

JAKARTA - Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mempertanyakan pelibatan TNI dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penengakan Hukum Protokol Kesehatan. 

Dalam Inpres tersebut, Panglima TNI diminta untuk memberikan dukungan kepada kepala daerah untuk mengerahkan kekuatan TNI dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan protokol kesehatan di tengah masyarakat serta diminta melakukan pembinaan terhadap masyarakat.

Hanya saja, dalam instruksi tersebut, tak dijelaskan secara rinci bagaimana penerapan penegakan hukumnya. Sebab, yang tertulis hanyalah kepala daerah diminta melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait, TNI dan Polri. Fahmi menilai, hal ini kemudian menjadi potensi masalah.

"Inpres menyebutkan bahwa tugas TNI dan Polri adalah melakukan pengawasan, patroli dan pembinaan masyarakat. Mengingat bahwa pelaksanaannya akan diatur melalui Pergub/Perbup/Perwal, maka isi peraturan-peraturan tersebut mestinya tidak boleh melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia dan memperhatikan betul bahwa pengawasan, patroli dan pembinaan masyarakat itu (sesuai isi Inpres) dilakukan dalam koridor penegakan disiplin, penegakan hukum dan ketertiban masyarakat," kata Fahmi kepada wartawan di Jakarta, Jumat, 7 Agustus.

Dirinya juga menilai, TNI harusnya tak berhadapan langsung dengan masyarakat dalam proses peningkatan disiplin dan penegakan hukum terhadap protokol kesehatan. Sebab, yang tepat untuk melakukan penegakan hukum dan ketertiban masyarakat adalah Polri bukanlah TNI.

Sehingga, Fahmi merasa skeptis jika peraturan daerah yang dibuat oleh kepala daerah bisa mengatur batasan kewenangan TNI dalam melakukan pengawasan, pembinaan masyarakat, dan penerapan sanksi. Apalagi, dalam Inpres tersebut, terkesan TNI dan Polri berada dalam posisi yang setara.

"Padahal mestinya leading sector tetaplah unsur penegak hukum. Dalam konteks daerah, itu berarti ya organisasi perangkat daerah yang terkait dan Polri," tegasnya.

Lebih lanjut, Fahmi juga mengingatkan adanya kemungkinan over reaction atau reaksi berlebih dari para personel TNI dan Polri di lapangan saat mengingatkan dan memberi sanksi terhadap pelanggar protokol kesehatan. 

Sehingga dia menilai, peraturan kepala daerah itu harus diimbangi dengan peraturan Panglima TNI dan Kapolri yang berisi kewenangan, prosedur, cara bertindak, dan larangan bagi personel yang bertugas di lapangan. "Tapi Inpres tidak menginstruksikan pembuatan peraturan tersebut," ungkapnya.

"Kenapa perlu didampingi peraturan panglima TNI dan peraturan Kapolri? Ya, agar pelaksanaannya enggak ngawur dan terhindar dari kemungkinan tumpang tindih di lapangan yang bisa berujung friksi antarpetugas maupun aksi kekerasan improper dari aparat bertugas terkait penerapan sanksi pada warga masyarakat yang diduga tidak disiplin maupun melanggar protokol," imbuh Fahmi.

Sebelumnya, Presiden Jokowi menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian COVID-19. Inpres yang mengatur sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan di tengah pandemi COVID-19 itu ditandatangani Jokowi pada 4 Agustus. 

Dalam poin 5 inpres ini dijelaskan sanksi ini bisa dijatuhkan bagi semua pelanggar protokol kesehatan seperti perorangan, pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat dan fasilitas umum.

Adapun tempat dan fasilitas umum yang dimaksud adalah perkantoran, usaha dan industri, sekolah dan institusi pendidikan lainnya, tempat ibadah, stasiun, terminal, pelabuhan dan bandara, transportasi umum, kendaraan pribadi, toko, pasar modern dan pasar tradisional, apotek dan toko obat, warung makan, rumah makan, kafe, dan restoran pedagang kaki lima, perhotelan, tempat wisata, serta fasilitas pelayanan kesehatan.

Protokol kesehatan yang harus ditaati adalah menggunakan alat pelindung diri berupa masker yang menutupi hidung dan mulut hingga dagu jika harus keluar rumah atau interaksi dengan orang lain yang tidak diketahui status kesehatannya, membersihkan tangan secara teratur, pembatasan interaksi fisik (physical distancing), dan meningkatkan daya tahan tubuh dengan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).