MATARAM - Hakim Banding Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat memperberat vonis terdakwa Dedi Supriadi menjadi 6 tahun dalam perkara korupsi proyek fisik pembangunan panggung pertunjukan seni khas Suku Sasak, peresean di Desa Sesait, Kabupaten Lombok Utara.
"Jadi hukuman pidananya lebih berat dari putusan sebelumnya, dari 5,5 tahun menjadi 6 tahun penjara," kata Juru Bicara Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Mataram Resa Syukur di Mataram, Jumat 4 Maret.
Hal itu pun dipastikannya sesuai yang dirilis dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Mataram.
Dalam pendataannya, putusan banding ditetapkan pada Selasa (1/3) lalu, dengan nomor putusan 2/PID.TPK/2022/PT MTR. Putusan banding terdakwa Dedi Supriadi ditetapkan oleh Majelis Hakim yang dipimpin Miniardi bersama anggota Mas'ud dan Rodjai S. Irawan.
Pada amar putusan banding, hakim menyatakan menerima permintaan banding dari Penuntut Umum dan Penasihat Hukum Terdakwa dan memperbaiki Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Mataram Nomor 11/Pid.Sus.Tpk/2021/PN.Mtr, tanggal 6 Januari 2022.
Dari materi yang dimohonkan banding tersebut, Majelis Hakim sekadar memperbaiki mengenai pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa menjadi 6 tahun penjara serta denda Rp300 juta.
"Dalam ketentuan, apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan," ujarnya.
BACA JUGA:
Untuk beban mengganti kerugian negara, tidak ada perubahan. Dedi Supriadi tetap dibebankan untuk membayar uang pengganti berdasarkan hasil perhitungan ahli senilai Rp1,015 miliar subsider 2 tahun penjara.
Sebelumnya pada pengadilan tingkat pertama, Dedi Supriadi divonis 5,5 tahun atau 5 tahun 6 bulan penjara dengan denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan.
Dalam putusan pengadilan tingkat pertama, Dedi dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam kapasitas sebagai sekretaris desa di sepanjang periode pengelolaan anggaran di tahun 2019. Dedi dinyatakan telah melakukan sejumlah kegiatan di luar tugas pokoknya.
Terdakwa juga telah terbukti mengambil uang yang bersumber dari anggaran dana desa tahun 2019 dan memasukannya ke rekening pribadi. Uang tersebut digunakan untuk serangkaian kegiatan di luar tugas pokoknya sehingga tidak sesuai dengan pertanggungjawabannya.
Hakim pun menyatakan perbuatan itu dilakukan secara terus menerus hingga melihatnya sebagai perbuatan yang berkelanjutan.
Dari pertimbangan tersebut, hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 2 Ayat (1) Juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP sebagaimana yang diuraikan dalam dakwaan primair Jaksa Penuntut Umum.
Dari putusan terdakwa Dedi, disampaikan perihal sumber pendanaan desa di tahun 2019. Hakim menyebutkan bahwa Desa Sesait pada tahun tersebut mendapat suntikan dana Rp4,125 miliar.
Sumber anggarannya berasal dari pusat senilai Rp2,450 miliar dan dari pemerintah daerah Rp1,439 miliar, serta pendapatan dari bagi hasil pajak dan retribusi daerah Rp235,1 juta.
Anggaran tersebut digunakan untuk menjalankan beberapa program pekerjaan fisik dan non fisik. Salah satu yang membuat Dedi Supriadi duduk di kursi pesakitan persidangan, adalah proyek fisik pembangunan panggung pertunjukan seni Suku Sasak, yakni peresean. Nilainya Rp640 juta.
Namun dari pengelolaan dana desa tersebut muncul temuan Inspektorat Kabupaten Lombok Utara. Ada nilai sebanyak Rp759,13 juta yang tidak bisa dipertanggungjawabkan penggunaannya.
Dari audit secara "actual loss", kerugian negara bertambah menjadi Rp1 miliar lebih. Hal itu muncul dari pekerjaan proyek fisik yang tidak sesuai spesifikasi dan beberapa kegiatan non fisik yang diduga fiktif. Termasuk pembangunan panggung peresean yang belum sempat dimanfaatkan namun sudah ambrol.