Catatan KPK: 65 Terpidana Korupsi Ajukan PK Sepanjang 2020
KPK/ANTARA

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut, sepanjang tahun 2020, terdapat 65 terpidana dalam kasus korupsi yang mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). Fenomena ini kerap terjadi sejak Agustus 2020 hingga saat ini.

"Kalau dari catatan KPK sendiri ada sekitar 65 terpidana korupsi yang mengajukan upaya hukum luar biasa yaitu PK," kata Plt Juru Bicara KPK bidang Penindakan Ali Fikri dalam sebuah diskusi daring bertajuk PK Jangan Jadi Jalan Suaka, Jumat, 22 Januari.

KPK memahami jika pengajuan PK adalah hak dari terpidana. Namun, kekhawatiran jika PK menjadi modus untuk mengurangi masa hukuman juga dirasakan oleh KPK karena banyaknya terpidana yang langsung mengajukan PK tanpa banding atau kasasi.

"Yang lalu itu di tingkat PN tingkat pertama, kemudian tingkat banding, kemudian di tingkat kasasi, setelah itu baru mereka mengajukan PK, tapi belakangan itu ramai-ramai para napi ini menerima putusan di tingkat pertama atau Pengadilan Tipikor, kemudian eksekusi, beberapa bulan kemudian, ini hitungannya yang menarik juga di bulan, itu mereka mengajukan upaya hukum luar biasa melalui PK," ungkapnya.

Selain itu, Ali juga menilai sebagian putusan MA mengabulkan PK dan meringankan hukuman terpidana korupsi. "Sebagian kalangan juga melihat putusan PK itu dinilai menurunkan hukuman para koruptor," tegasnya.

Dalam diskusi yang sama, Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Bidang Yudisial Andi Samsan Nganro kemudian membantah jika majelis hakim PK sembarang mengabulkan permohonan yang diajukan oleh terpidana korupsi. Kata dia, setidaknya ada tiga alasan mengapa pihak alasan para hakim mengabulkan permintaan tersebut dan salah satunya masalah disparitas penjatuhan hukuman.

"Berdasarkan pengamatan kami terkait dengan tindak pidana yang dikurangi berdasarkan putusan PK pada pokoknya ada 3 hal alasan kenapa dikabulkan, pertama karena disparitas pemidanaan," kata Andi.

"Fakta menunjukkan ada tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tapi dalam persidangan orang berkas-nya ada yang diajukan terpisah meski pada hakikatnya tindak pidana dilakukan oleh beberapa orang sehingga pemeriksaannya juga terpisah dan hasil pemeriksaan perkara juga tidak diajukan serempak," imbuhnya.

Hal inilah yang membuat ada terpidana yang sudah diputus lebih dulu dan ada yang belum. Selain itu majelis hakim yang mengadili juga dapat berbeda-beda baik di tingkat pertama, banding maupun kasasi sehingga memutuskan putusan yang berbeda-beda. 

"Jadi ada terpidana yang merasa dirinya lebih berat hukumannya padahal perbuatan sama, lalu ada juga yang sudah mengembalikan uang hasil pidana tapi merasa hukumannya juga berat, nah itu dijadikan alasan PK," ungkapnya.

Alasan kedua MA mengabulkan PK terpidana korupsi karena menemukan terpidana bukan pelaku utama namun hukumannya malah lebih berat sementara pelaku utamanya justru dihukum ringan.

Sedangkan alasan terakhir adalah perkembangan kondisi hukum. "Termasuk juga 10 tahun terakhir ada pergeseran penerapan hukum yang berkembang menuntut melakukan inovasi untuk kemanfaatan," kata Andi.

Andi membantah anggapan pihaknya kerap memberikan potongan hukuman melalui putusan PK. Sebab, menurut data yang dimilikinya hanya 8 persen pengajuan PK saja yang dikabulkan.

"Jadi masih ada 92 persen yang ditolak, pak," tegasnya.

"Memang tugas kami ini adalah sebagai penegak hukum dan keadilan, tentu keadilan untuk semua. Keadilan untuk korban, negara, keadilan untuk terpidana. Kami mempertimbang semua, mensinergikan semua untuk melahirkan sebuah putusan berdasarkan pertimbangkan," pungkasnya.