JEMBER - Pengamat politik Universitas Jember Agung Purwanto menilai wacana penundaan pelaksanaan Pemilu Serentak 2024 merupakan dalih partai politik untuk menaikkan posisi tawar dalam Pemilu Presiden 2024, dan justru dipertanyakan urgensinya terkait penundaan tersebut.
"Alasan terjadinya pandemi COVID-19 yang masih melanda terbantahkan dengan pelaksanaan Pemilu 2020 yang sukses digelar dengan penerapan protokol kesehatan," katanya dikutip Antara, Kamis, 3 Maret.
Menurutnya, alasan penurunan perekonomian juga dipertanyakan, karena sepanjang tahun 2021 tercatat perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata 3,69 persen.
"Artinya, alasan penundaan Pemilu Serentak 2024 yang disampaikan para elite parpol bukanlah alasan yang sebenarnya, namun terdapat maksud politik pada usulan itu," ujarnya.
Mencermati pimpinan parpol pengusul yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Golkar, dan Partai Amanat Nasional (PAN) dapat dikatakan sebagai partai politik anggota koalisi partai yang memerintah (ruling party).
Namun, ketiganya berada pada posisi middle power, sementara major power dipegang oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
"Sederhananya, ketiga partai politik tersebut hanya berpeluang sebagai calon wakil presiden dengan calon Presiden dari major power, sehingga waktu dua tahun dirasa tidak cukup untuk melakukan lobi politik dan meningkatkan posisi tawar untuk mendapatkan “posisi aman” sebagai cawapres," katanya.
Agung mengatakan sebenarnya waktu dua tahun dirasa cukup jika tidak terjadi hal yang krusial pada major power koalisi partai yang memerintah. Elektabilitas dari model dinasti yang direncanakan oleh major power dari koalisi partai yang memerintah dengan PKB dan Golkar berada di dalamnya, tidak sejalan dengan kenyataan perilaku pemilih di lapangan.
"Hasil dari 25 lembaga survei tentang elektabilitas kandidat presiden menyebutkan bahwa 17 lembaga survei menunjuk Prabowo Subianto tertinggi dipilih oleh responden," ujar dosen FISIP Unej itu.
BACA JUGA:
Sedangkan Ganjar Pranowo dari major power koalisi partai yang memerintah tertinggi dipilih responden pada 4 lembaga survei dan itu pun kurang 20 persen, padahal major power pada koalisi partai yang memerintah menginginkan politik dinasti, artinya bukan Ganjar Pranowo.
"Akan menjadi berat bagi middle power untuk menaikkan elektabilitas ketua partainya di satu sisi dan dihadapkan harus bekerjasama dengan kandidat presiden yang kurang kuat elektabilitasnya," ujarnya.
Ia menjelaskan gagasan paling pragmatis adalah swing dalam berkoalisi. Elektabilitas Ketua Partai Golkar dan juga elektabilitas Ketua Partai PKB akan menjadi modal pada posisi tawar kepada ketua partai yang juga sebagai major power eks koalisi oposisi.
"Nah pada upaya mencari jalan untuk 'pasang dua kaki' antara berada dalam koalisi partai memerintah atau pragmatis melakukan swing itulah, waktu dua tahun itu dirasa tidak cukup," katanya.