Bagikan:

JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membantah proses penyelidikan kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin berjalan lambat.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan koordinasi antara pihaknya dengan kepolisian untuk mengusut keberadaan kerangkeng itu sudah berjalan cepat. Tapi ada sejumlah hambatan, termasuk adanya ketakutan pihak yang mengetahui untuk bersuara.

"Saya kira tidak lambat (prosesnya, red). Kalau lihat koordinasi dan komunikasi kepolisian dan Komnas HAM tidak lambat," kata Anam dalam YouTube Humas Komnas HAM RI, Kamis, 3 Maret.

Anam kemudian memaparkan, hambatan pertama yang ditemukan oleh Komnas HAM dan pihak kepolisian karena rentang waktu terjadinya peristiwa ini sejak 2010 hingga 2022, sehingga banyak yang memberi kesaksian dan banyak detail yang ditemukan.

"Kemudian kedua yang menyulitkan, saya kira Komnas HAM mengalami, teman kepolisian juga mengalami yaitu hambatan tentang ketakutan bersuara," ujarnya.

Ia mengatakan Komnas HAM sebenarnya bisa saja merilis laporan akhir mereka sesegera mungkin. Tapi, ada beberapa informasi yang masih dicari dari para saksi yang awalnya enggan berbicara.

"Kami bisa saja menyelesaikan pertengahan Februari kemarin, kami sudah siap menyelesaikan laporan akhir. Tapi lambat laun, beberapa keterangan saksi yang awalnya sulit kami dapatkan kemudian bersuara, akhirnya (kami molor, red)," ungkap Anam.

"Hambatan ini yang sebenarnya kuat sehingga kami rekomendasikan ke kawan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) yang berkonsentrasi ke kasus ini memberikan perlindungan," imbuhnya.

Diberitakan sebelumnya, Komnas HAM mengungkap telah terjadi beberapa pola kekerasan di dalam kerangkeng yang disebut sebagai tempat rehabilitasi itu, seperti penjemputan paksa calon penghuni hingga kekerasan yang dilakukan jika melawan atau melanggar aturan pengurus kerangkeng maupun Terbit.

Selain itu, terjadi perundungan yang dilakukan oleh penghuni kerangkeng yang sudah lebih lama berada di sana. Yasdad menuturkan, kekerasan dengan intensitas tinggi biasa terjadi di periode awal setelah penghuni masuk atau pada satu bulan pertama.

Setidaknya, ada 26 bentuk penyiksaan dari para pelaku. "Antara lain dipukuli di bagian rusuk, kepala, muka, rahang, bibir, ditempeleng, ditendang, diceburkan ke dalam kolam ikan, direndam, diperintahkan untuk bergelantungan di kerangkeng seperti monyet atau gantung monyet," ujarnya.

Tak sampai di situ, penghuni baru juga kerap dicambuk mengguna selang, mata dilakban, kaki dipukul menggunakan palu atau martil hingga kukunya terlepas, dipaksa tidur di atas daun atau ulat gatal, dipaksa makan cabai, dan juga tindakan kekerasan lain yang tak dirinci lebih jauh.

Akibat kejadian ini, ada enam orang penghuni kerangkeng manusia yang meninggal dunia. Selain itu, seorang di antaranya juga pernah mencoba bunuh diri karena tak kuat dengan tekanan psikologis setelah menghuni tempat binaan yang dibuat oleh Terbit.