Bagikan:

MEULABOH - Koordinator Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian mengatakan penetapan status tersangka terhadap kasus korupsi beasiswa yang telah diumumkan oleh Polda Aceh, belum menyentuh aktor utama dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi tersebut.

"Kami melihat penetapan tersangka masih terfokus pada oknum pelaku di level kebijakan administrasi, dan belum menyentuh pada aktor utama 'pemilik modal' yang terlibat sejak awal dari perencanaan, penganggaran, dan mengusulkan nama nama penerima beasiswa," kata Alfian dalam keterangan tertulis diterima di Meulaboh, Rabu 2 Maret.

Sebelumnya, penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh menetapkan tujuh tersangka dugaan tindak pidana korupsi beasiswa Pemerintah Aceh tahun anggaran 2017 dengan nilai Rp22,3 miliar

Tujuh tersangka tersebut yakni berinisial SYR selaku Pengguna Anggaran (PA), FZ dan RSL selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), FY selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), serta SM, RDJ, dan RK selami koordinator lapangan beasiswa.

Menurut Alfian, dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi beasiswa di Aceh tersebut, diduga terlibat 23 orang pelaku dengan istilah koordinator / perwakilan dari Anggota DPRA yang memiliki kewenangan dalam kasus beasiswa kepada mahasiswa.

"Secara hemat kami, lahirnya istilah koordinator/perwakilan anggota DPRA, berdasarkan perintah atau desain aktor. Karena di tingkatan tersebut pemotongan/korupsi beasiswa terjadi," ucap Alfian.

Selanjutnya kalimat koordinator/perwakilan tersebut, kata dia, tidak dikenal dalam administrasi negara atau daerah. Sehingga Polda Aceh penting dan patut mengembangkan penyidikan berlanjut terhadap keberadaan 23 orang tersebut, termasuk siapa saja yang memberikan kewenangan bagi mereka dan atas perintah siapa.

Dalam penetapan tersangka yang telah diumumkan Polda Aceh atas inisial RK, kata Alfian, RK disangkakan bukan atas sebagai koordinator/perwakilan dari Anggota DPRA. akan tetapi inisial tersebut sebelumnya juga menerima beasiswa pendidikan dan kembali mendapatkan beasiswa di tahun 2017 atau menerima dua kali beasiswa.

Alfian juga mengatakan kasus korupsi beasiswa Aceh secara konstruksi kasus tidak akan selesai kalau ada upaya aktor yang harus "diselamatkan", karena seharusnya kemauan yang kuat bagi Polda Aceh untuk mengusut secara utuh aktornya.

Sehingga tidak meninggalkan pesan pada publik, kalau politisi atau orang berpengaruh tidak dapat tersentuh hukum dan ini sangat berimplikasi pada kepercayaan publik. Padahal, modus pemotongan dalam kasus kejahatan luar biasa dengan sangat mudah untuk mengusut-nya.

"Kami juga mempertanyakan kepada Polda Aceh, apa urgensi-nya sehingga kasus korupsi beasiswa tidak diusut secara utuh dan upaya 'mengamankan' aktor sejak awal sangat kelihatan. Padahal publik sudah sangat sabar menunggu atas kinerja penyelidikan dan penyidikan kasus tersebut dan ini menjadi tanda tanya publik sejak lama,” katanya menambahkan.

Untuk itu, perlu Political Will yang kuat untuk Kapolda Aceh dalam menyelesaikan kasus korupsi beasiswa secara utuh, dan pihaknya percaya kasus korupsi tersebut tidak berdiri pada orang orang di level kebijakan administrasi saja.

Akan tetapi sebagai pelaku utama atau "pemilik modal" aktor patut ditetapkan tersangka, sehingga rasa keadilan tidak selalu tercederai dan pelaku juga tidak tersandera oleh kasus tersebut, ucapnya menegaskan.

Sebelumnya Kepala Bidang Humas Polda Aceh Kombes Pol Winardy didampingi Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh Kombes Sony Sonjaya di Banda Aceh, Rabu, mengatakan penetapan tujuh tersangka tersebut setelah gelar perkara dilaksanakan.

"Dari hasil gelar perkara, tujuh orang tersebut dinilai memenuhi unsur untuk dijadikan tersangka atas kasus dugaan tindak pidana korupsi dana pendidikan atau beasiswa tahun anggaran 2017," katanya.

Kombes Pol Winardy mengatakan penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh juga sudah melaporkan gelar perkara penetapan tersangka tersebut baik ke Bareskrim Polri maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).