Bagikan:

JAKARTA - Sebuah pengadilan Jepang pada Selasa dua pekan lalu memerintahkan negara untuk memberikan kompensasi, kepada tiga orang penyandang cacat atas sterilisasi paksa di bawah undang-undang perlindungan eugenika yang sekarang sudah tidak berlaku, memberikan ganti rugi untuk pertama kalinya di antara tuntutan serupa yang diajukan ke sembilan pengadilan dan cabang mereka di seluruh Jepang.

Pengadilan Tinggi Osaka mengatakan kepada pemerintah pusat untuk membayar total 27,5 juta yen atau sekitar Rp3.428.599.190, sebagai ganti rugi kepada tiga orang di Jepang barat, pasangan dan seorang wanita berusia 70-an dan 80-an, mengakui undang-undang eugenika sebagai tidak konstitusional.

Pasangan tersebut mengalami gangguan pendengaran dan sang istri menjalani sterilisasi paksa pada tahun 1974. Sementara, perempuan penyandang disabilitas intelektual lainnya melakukannya sekitar tahun 1965.

Beberapa pengadilan Jepang sebelumnya telah menggarisbawahi inkonstitusionalitas undang-undang tersebut, tetapi tuntutan ganti rugi telah ditolak dengan alasan undang-undang pembatasan telah berakhir 20 tahun setelah operasi paksa. Ketiganya meminta ganti rugi gabungan sebesar 55 juta yen.

Penggugat berpendapat, jam pada undang-undang pembatasan tidak boleh mulai berdetak ketika operasi dilakukan karena pada saat itu sangat sulit bagi mereka untuk mengenali ilegalitas hukum dan menuntut pemerintah.

Pengadilan Tinggi Osaka memutuskan mendukung mereka, mengatakan undang-undang pembatasan tidak boleh diterapkan karena hal itu "sangat bertentangan dengan keadilan dan keadilan."

Putusan tersebut mencatat, penggugat membutuhkan waktu lama untuk menggugat negara karena sangat sulit bagi mereka untuk mengakses informasi yang diperlukan, karena prasangka sosial dan diskriminasi.

Menyebut undang-undang eugenika 'tidak manusiawi dan diskriminatif', pengadilan juga menuduh anggota parlemen lalai karena memberlakukannya.

Menteri Kesejahteraan Shigeyuki Goto mengatakan, putusan pengadilan tinggi 'sangat berat' bagi negara karena klaimnya ditolak. Sementara, Kepala Sekretaris Kabinet Hirokazu Matsuno mengatakan, pemerintah akan mempertimbangkan apakah akan mengajukan banding ke Mahkamah Agung setelah menelaah keputusan tersebut.

Diketahui, penggugat di seluruh Jepang sangat gembira dengan keputusan tersebut, dan meminta pemerintah untuk meminta maaf.

"Ini bagus. Ini adalah keputusan yang mendukung para korban," kata saudara ipar penggugat dari Prefektur Miyagi di timur laut Jepang, yang menjadi orang pertama yang menuntut negara atas sterilisasi paksa pada 2018, melansir Kyodo News 22 Februari.

"Hidup kami hancur total. Ini bukan tentang uang. Dengan putusan ini, saya ingin pemerintah tunduk di depan semua korban dan meminta maaf," ujar perwakilan sekelompok korban dan keluarganya, yang menggunakan nama samaran Saburo Kita.

"Mengendarai momentum ini, saya ingin kasus saya dan yang lainnya menang," tukas pria berusia 78 tahun itu. Putusan atas kasusnya dijadwalkan akan dijatuhkan pada bulan Maret oleh Pengadilan Tinggi Tokyo.

Untuk diketahui, antara tahun 1948 dan 1996, Undang-Undang Eugenika mengesahkan sterilisasi orang-orang dengan disabilitas intelektual, penyakit mental, atau kelainan keturunan, untuk mencegah kelahiran keturunan 'inferior'.

Sekitar 25.000 orang penyandang cacat disterilkan di bawah hukum, termasuk sekitar 16.500 orang yang dioperasi tanpa persetujuan mereka, menurut data pemerintah.

Setelah mengabaikan masalah ini selama bertahun-tahun, parlemen Jepang memberlakukan undang-undang pada April 2019 untuk membayar 3,2 juta yen sebagai kompensasi negara, kepada setiap orang yang menjalani sterilisasi paksa. Tapi, jumlahnya yang seragam, mendapatkan reaksi berbeda.

Kritikus menyebutnya terlalu kecil dibandingkan dengan trauma yang dialami oleh mereka yang menjalani operasi, serta mengabaikan penderitaan pasangan. Mereka juga mengkritik pemerintah, karena tidak secara jelas menyebutkan tanggung jawabnya atas implementasi undang-undang tersebut.

Hingga akhir Januari, pemerintah telah mengesahkan pembayaran sekaligus kepada 966 orang, menurut Kementerian Kesejahteraan.

Pada tahun 1994, seorang wanita Jepang penyandang disabilitas menyerukan penghapusan undang-undang tersebut pada Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan yang diselenggarakan di Mesir, yang menjadi katalis untuk penghapusannya dua tahun kemudian.