Doni Monardo: Walau Ada Vaksin dan Obat, Pandemi COVID-19 Belum Tentu Berakhir
Ketua Satgas Penanganan COVID-19 yang juga Ketua BNPB Doni Monardo (Foto: Humas BNPB)

Bagikan:

JAKARTA - Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Doni Monardo mengatakan, pandemi COVID-19 belum tentu berakhir meski vaksin dan obat untuk menghadapi virus ini telah ditemukan. Apalagi, belum ada satu ahli dan pakar yang memastikan kapan pandemi ini berakhir.

"Walaupun nanti ada vaksin, walaupun nanti ditemukan obat, belum tentu COVID-19 akan berakhir. Kita harus mempersiapkan diri untuk jangka waktu yang panjang karena belum ada ahli dan pakar yang mengetahui kapan wabah ini akan berakhir," kata Doni dalam acara Doa Perawat Untuk Negeri yang disiarkan di akun YouTube BNPB, Selasa, 15 September.

Atas alasan itulah, saat ini kolaborasi pentahelix berbasis komunitas terus menjadi ujung tombak pencegahan COVID-19. Selain itu, masyarakat, harus menjadi garda terdepan dalam menghadapi pandemi. Sementara perawat, dokter, dan rumah sakit harus menjadi benteng terakhir dalam menghadapi virus tersebut.

Terkait penanganan COVID-19 di Indonesia, Doni mengatakan, pemerintah saat ini terus berusaha melakukan sejumlah hal. Di antaranya adalah menyiapkan vaksin dan menyiapkan obat yang lebih mujarab.

"Kita tidak tahu kapan berakhirnya COVID ini dan kita pun sedang berusaha, pemerintah, Bapak Presiden dengan sejumlah menteri telah berusaha untuk mendapatkan vaksin dalam jumlah yang cukup bagi masyarakat kita semua. Termasuk upaya untuk mendapatkan obat yang lebih mujarab dalam menghadapi COVID-19," ujarnya.

Pemerintah terus berupaya memenuhi kebutuhan vaksin COVID-19 untuk masyarakat Indonesia. Saat ini, Indonesia telah memperoleh 30 juta dosis vaksin COVID-19 untuk akhir tahun 2020 dan berjanji 300 juta dosis tersedia di tahun 2021.

Ketua Pelaksana Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PCPEN) Erick Thohir mengatakan, pemerintah terus melakukan penjajakan ke lembaga dan perusahaan lain, karena jumlah vaksin yang dibutuhkan untuk melakukan imunisasi massal masih cukup banyak.

Erick berujar, sejak awal pemerintah telah melakukan penjajakan dengan lembaga-lembaga kesehatan seperti Koalisi untuk Kesiapan dan Inovasi Epidemi (CEPI), badan kesehatan dunia (WHO) hingga Unicef.

"Tentu, perusahaan-perusahaan farmasi multinasional lainnya juga seperti Astrazeneca, Cansino, dan Pfizer, ini kami jajaki. Kita harapkan di 2022 atau bahkan 2021, 30 persen bisa didapatkan," katanya, dalam acara 'Orasi Ilmiah Dies Natalis 63 Tahun Universitas Padjajaran', Jumat, 11 September.

Seperti diketahui, pemerintah melalui PT Bio Farma (Persero) telah bekerjasama dengan Sinovac Biotech perusahaan farmasai asal China untuk pengadaan vaksin. Erick mengatakan, jika proses uji klinis tahap 3 berjalan lancar, 20 juta dosis vaksin bisa tersedia di akhir tahun. Sementara untuk tahun depan, akan diproduksi hingga 250 juta dosis.

Kemudian, kata Erick, kerja sama juga dilakukan PT Kimia Farma dengan Grup42 (G42) dari Uni Emirat Arab (UEA). Nantinya, Indonesia akan memperoleh 10 juta dosis vaksin dari kerjasama ini pada akhir tahun 2020, kemudian ditambah lagi sebanyak 50 juta dosis untuk tahun depan.

Namun, kata Erick, jumlah tersebut hanya cukup memenuhi 170 juta penduduk saja. Hal ini karena, per satu orang membutuhkan vaksinasi sebanyak 2 kali. Ia berharap, penjajakan ke lembaga dan perusahaan farmasi tersebut dapat menghasilkan kesepakatan pengadaan vaksin sebagaimana yang sudah direncanakan.

Pemerintah, kata Erick, tidak hanya bergantung pada vaksin yang dikembangkan negara lain. Menurut dia, pihaknya juga memprioritaskan pembuatan Vaksin Merah Putih, yang mana ditargetkan untuk dapat mulai diproduksi di tahun 2022.

"Jadi, insyaallah, di akhir tahun ini ada 30 juta (dosis) dan di tahun depan ada 300 juta. Tetapi sebagai catatan, dari total kita dapatkan 330 juta mungkin 340 juta," tuturnya.