Ancaman <i>Fake News </i> Itu Nyata, Mahfud MD: 83 Persen Publik Indonesia Merasa Cemas
Menko Polhukam Mahfud MD (Foto: DOK ANTARA)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan(Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan hampir separuh masyarakat cemas dengan berita bohong yang terjadi di Tanah Air. Bahkan, dia mengatakan Indonesia berada di tingkat kedua atau kalah dari Spanyol perihal kecemasan ini.

Hal tersebut disampaikan Mahfud saat pidato dalam agenda Hari Pers Nasional pada Selasa, 8 Februari. Mahfud mengatakan data yang disampaikannya itu berdasarkan survei Edelman Trust yang diluncurkan pada Januari 2022 lalu.

"Kecemasan publik terhadap hoaks di negara kita mencapai 83 persen. Ini angka yang seakan memberikan pengakuan terhadap keprihatinan kita selama ini. Berdasarkan survei Edelman Trus ini, publik Indonesia memiliki kecemasan yang tinggi terhadap fake news atau hoaks. Indonesia juga menduduki peringkat kedua dalam hal ini dan hanya kalah dari Spanyol dari tingkat kecemasan terhadap hoaks dan fake news ini," kata Mahfud dikuti dari YouTube Dewan Pers Official, Selasa, 8 Februari.

Kondisi ini, sambung Mahfud, jadi gambaran tentang menakutkan dan memprihatinkan penyebaran berita bohong di Tanah Air. Sehingga, dia menyebutkan hal ini menjadi perhatian pemerintah.

Tapi, Mahfud mengatakan untuk memberantas penyebaran berita bohong semua harus bergerak. Selain masyarakat, pers juga diminta melakukan hal yang sama.

"Ini angka seakan memberikan pengakuan terhadap keprihatinan kita selama ini terhadap fenomena merebaknya hoaks di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini," tegas eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut.

"Hoaks selama ini telah menjadi perhatian kita, baik dari pemerintah, masyarakat, dan para insan media untuk mengatasinya secara bersama-sama," imbuh Mahfud.

Lebih lanjut, Mahfud mengatakan berita hoaks ini banyak tersebar di sejumlah platform. Termasuk media sosial yang sebenarnya diharap jadi wadah interaksi warga secara positif.

"Pada kenyataannya (media sosial, red) jadi ruang besar yang kerap mengabaikan etika publik. Bahkan tidak jarang menjadi wadah penyebaran secara luas berita hoaks, fake news, dan berbagai konten disinformasi," tegasnya.

Dia mengatakan hal ini menandakan media sosial bukan hanya membuka ruang lebih luas dalam upaya pembangunan kesetaraan, partisipasi publik, dan iklim demokrasi. "Tapi juga sekaligus menghasilkan masalah baru dengan penyebaran percakapan yang mengenyampingkan etika," ujar Mahfud.

"Ini yang banyak sekali terjadi serta informasi yang cenderung menyesatkan publik, ini yang juga banyak terjadi," pungkasnya.