JAKARTA - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tak lagi ikut mengurusi soal pengajuan pinjaman dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Daerah.
Keputusan ini diambil sebagai hasil evaluasi pasca eks Direktur Jenderal (Dirjen) Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Mochamad Ardian Noervianto ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ardian diduga menerima suap untuk pengurusan pinjaman dana PEN Daerah yang diajukan oleh Bupati Kolaka Timur nonaktif Andi Merya Nur.
"Berdasarkan mitigasi potensi risiko yang kami nilai dari setiap tahapan disimpulkan bahwa Mendagri tidak perlu memberikan pertimbangan karena SMI sudah melakukan itu," kata Irjen Kemendagri Tumpak Simanjuntak di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu, 2 Februari.
Setelah keputusan ini diketuk, Tumpak mengatakan, Kemendagri mengirim surat ke Kementerian Keuangan. "Bahwa tidak perlu lagi keterlibatan Bapak Mendagri dalam memberikan pertimbangan yang hanya diberikan waktu tiga hari sebenarnya," ungkapnya.
Selain itu, ada sejumlah hal yang dilakukan untuk meminimalisir risiko terjadinya praktik lancung. Salah satunya, melakukan evaluasi APBD berbasis teknologi informasi dan melibatkan pihak lainnya.
"Intinya kami berusaha di dalam evaluasi RAPBD ini meminimalisir risiko terjadinya dan bahkan transaksi dengan salah satu cara menghindari adanya pertemuan face-to-face," tegas Tumpak.
BACA JUGA:
"Jadi data itu dikirimkan melalui online yang saat ini menggunakan SIPD. itu beberapa langkah yang sedang dilakukan," imbuhnya.
Diberitakan sebelumnya, Ardian ditetapkan sebagai tersangka bersama dua orang lainnya. Mereka adalah Bupati Kolaka Timur nonaktif Andi Merya Nur yang juga sudah sebagai tersangka dugaan penerimaan suap dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Muna Laode M. Syukur Akbar.
Dia diduga menerima suap sebesar Rp1,5 miliar dalam bentuk mata uang dolar Singapura. Ada pun pemberian uang yang dilakukan oleh Andi Merya Nur disampaikan melalui Laode M Syukur.
Dari uang Rp2 miliar itu, Ardian menerima uang Rp1,5 miliar sementara Laode M Syukur menerima Rp500 juta.
Atas perbuatannya, Ardian sebagai tersangka penerima suap bersama Laode M Syukur disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sementara Andi selaku pemberi disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.