JAKARTA - Sebuah studi terbaru menunjukkan dampak positif lain dari LSD (Lysergyc Acid Diethylamide). Peneliti Universitas Maastricht Belanda berhasil menemukan efek LSD sebagai penghilang rasa sakit. Temuan ini juga memperpanjang daftar narkoba psikedelik dalam pemanfaatan medis, mulai dari ganja, magic mushroom, hingga ayahuasca.
Dalam penelitian yang didukung Beckley Foundation, didapati LSD dalam dosis kecil dapat berfungsi sebagai analgesik atau pereda rasa sakit yang efektif. Hal ini adalah kemajuan. LSD dianggap dapat menggantikan morfin yang memiliki tingkat kecanduan tinggi.
“Dari sudut pandang medis, penelitian tampak terkontrol karena kemanjuran LSD harus fokus dengan yang relatif rendah," tertulis dalam laporan studi yang dikutip New Atlas, Kamis, 3 September.
"Lewat dosis yang rendah, LSD lebih mudah dikelola. Dan dengan demikian lebih disukai daripada pengobatan dengan LSD dosis tinggi, yang dapat menghasilkan efek psikedelik atau halusinasi besar-besaran,” tambahnya.
Dalam penelitian itu, LSD dosis rendah diujicoba kepada 24 orang. Masing-masing mereka yang ikut berpatisipasi dalam penelitian telah melewati empat sesi eksperimental terpisah selama lima hari. Peneliti kemudian mencoba tiga takaran dosis rendah, mulai dari lima, 10, hingga 20 mikrogram.
Tiap sesi percobaan dilakukan dengan begitu hati-hati untuk mencari titik tepat respons LSD terhadap tingkat toleransi pada rasa nyeri. Salah satu cara yang dilakukan dalam penelitian adalah dengan memasukan tangan peserta --yang jadi sampel-- ke air bersuhu 3° celcius. Para peneliti kemudian mengukur berapa lama seseorang dapat bertahan di dalam air.
Hasilnya, pemberian LSD dengan dosis 20 mikrogram bekerja efektif sebagai pereda rasa sakit dibanding dengan dosis lainnya. Uji coba itu juga menunjukkan efek analgesik selama lima jam kemudian.
“Data saat ini secara konsisten menunjukkan bahwa LSD dosis 20 mikrogram secara signifikan dapat mengurangi rasa sakit dan nyeri dibanding dosis lainnya,” tertulis dalam laporan.
Melanjutkan semangat Kast
LSD adalah narkoba psikedelik. Pengonsumsiannya dapat menyebabkan halusinasi. Sebagaimana dikisahkan dalam dokumenter Netflix, Have a Good Trip: Adventure in Psychedelics, sejumlah seniman, baik itu sineas, musisi, sastrawan, hingga komedian diketahui menggunakan LSD untuk mendukung proses berkarya.
Peneliti Eric Kast sebagai pelopor dalam penelitian LSD mengonfirmasi bagaimana dampak LSD dalam menstimulasi sensitivitas perasaan, pikiran, hingga kesadaran seseorang. Perspektif LSD sebagai analgesik juga jadi salah satu temuan Kast yang lama diabaikan dunia medis.
Kast sendiri telah menerbitkan lebih dari selusin makalah kunci yang mengeksplorasi bagaimana LSD dapat menjadi pereda rasa sakit. Kast bahkan secara konsisten menemukan obat yang diproduksi secara efektif untuk memberikan efek analgesik yang berkepanjangan bagi mereka yang memiliki penyakit akut.
BACA JUGA:
Sayangnya, Kast dan para peneliti ilmu psikedelik lain harus mengurungkan niat tersebut. Pembatasan akses penggunaan ke LSD pada akhir 1960-an memendam segala temuan ilmiah itu.
Meski begitu, seiring waktu, dalam beberapa dekade kemudian, penelitian psikedelik terkait penggunaan LSD sebagai pereda nyeri kembali bermunculan. Salah satunya adalah yang dilakukan Universitas Maastricht Belanda dan Beckley Foundation.