JAKARTA - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggelar sidang lanjutan kasus dugaan suap pengurusan nilai pajak dengan terdakwa mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Angin Prayitno Aji.
Dalam sidang yang beragendakan pembacaan duplik, terdakwa Angin Prayitno Aji melalui kuasa hukumnya, Syaefullah Hamid menyatakan jaksa penuntut umum (JPU) memutarbalikan fakta.
"Replik penuntut umum hanya mengulang kembali apa yang pernah Penuntut Umum sampaikan dalam Surat Dakwaan dan Surat Tuntutan bahkan terdapat pemutarbalikan fakta," ujar Syaefullah dalam persidangan, Kamis, 27 Januari.
Menurut Syaefullah, jaksa tak berkata jujur lantaran menyatakan print out data transaksi customer Dolarasia Kelapa Gading berasal dari hasil penggeledahan di Kantor Dolarasia dalam perkara Tersangka Wawan Ridwan dan Alfred Simanjuntak.
Selain itu, pernyataan jaksa dianggap sesat karena berdasarkan bukti dalam Berita Acara Penyitaan (BAP) dan tanda penerimaan barang bukti, dijelaskan bahwa data transaksi penukaran uang Rp3,049 miliar ke dolar AS sudah disita dalam perkara Angin Prayitno.
"Lantas dari mana asalnya karangan Penuntut Umum yang menyebutkan bahwa data transaksi tersebut ditemukan dalam perkara Wawan Ridwan dan Alfred Simanjuntak?" katanya.
Tak hanya itu, Angin Prayitno juga menyatakan jaksa telah gagal membuktikan adanya penukaran uang rupiah Rp13,8 miliar ke dolar Singapura oleh Yulmanizar alias Deden Suhendar.
Sebab, dalam surat dakwaan, jaksa menerangkan hasil penukaran dalam bentuk dolar Singapura diteruskan sebagai ke Dadan Ramdani dan sebagian ke Angin Prayitno. Terlebih, dalam sidang agenda replik jaksa justru mengajukan bukti lain berupa penukaran uang rupiah ke dolar AS sebesar Rp3,049 miliar menjadi 227.100 dolar AS.
Sehingga, alat bukti tersebut dipandang tak dapat membuktikan adanya penerimaan uang 750 ribu dolar Singapura sebagaimana yang didakwakan kepada Angin Prayitno.
"Jika Penuntut Umum menganggap penukaran uang sebesar Rp3,049 miliar menjadi 227.100 dolar AS sebagai bagian dari tindak pidana yang dituduhkan, maka berarti Penuntut Umum mengingkari Dakwaan dan Tuntutannya sendiri dan secara implisit mengakui Dakwaannya tidak terbukti," kata Syaefullah.
Kemudian, Syaefullah menekankan jaksa juga gagal membuktikan adanya suap dari Veronika Lindawati Bank Panin terhadap kliennya.
Di mana, sempat mempersoalkan kedatangan Veronika pada 15 Oktober 2018 dan mengaitkannya dengan initial finding Rp900 miliar yang dinegosiasikan. Sehingga, diduga jaksa ingin menyatakan kedatangan Veronika sebelumnya pada 24 Juli 2018 guna menegosiasikan nilai pajak dari Rp900 miliar ke Rp300 miliar.
"Tetapi fakta hukum membuktikan bahwa Veronika Lindawati mendatangi DJP pada tanggal 24 Juli 2018, sehari setelah SPHP ditetapkan pada tanggal 23 Juli 2018. Nilai pajak dalam SPHP sebesar Rp. 303 miliar bahkan bertambah menjadi Rp. 307 miliar pada saat SKP terbit," kata Syaefullah.
"Di sinilah logical fallacy Penuntut Umum dalam mengurai perkara ini. Dalam Repliknya, Penuntut Umum sama sekali tidak membahas pertemuan tanggal 24 Juli 2018," sambungnya.
BACA JUGA:
Dengan beberapa alasan itu, Syaefullah meminta majelis hakim menolak replik jaksa terhadap kliennya. Sebab, semuanya hanya didasarkan pada asumsi dan imajinasi semata.
Selain itu, majelis hakim juga diminta menjatuhkan putusan dengan menyatakan Angin Prayitno tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama - sama sebagaimana Pasal 11 dan Pasal 12 huruf A UU Tipikor.
"Membebaskan terdakwa I Angin Prayitno Aji dari segala dakwaan atau setidak-tidaknya melepaskan dari segala tuntutan hukum," kata Syaefullah.
Sebagai informasi, jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut mantan pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Angin Prayitno Aji dengan pidana 9 tahun penjara. Kemudian, jaksa juga menuntut Angin dengan pidana denda sebesar Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.