Bagikan:

BANDUNG - Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Asep N Mulyana menyebut pembubaran yayasan milik terdakwa Herry Wirawan kasus pemerkosaan 13 santriwati, menjadi salah satu poin dalam tuntutan karena menjadi instrumen kejahatan.

Karena, kata dia, kejahatan tersebut mungkin tidak akan terjadi apabila tidak ada yayasan pesantren sebagai instrumen Herry. Menurutnya, Herry pun menggunakan instrumen tersebut secara sistematis.

"Yayasan atau boarding school merupakan instrumental delicti, artinya alat yang digunakan terdakwa melakukan kejahatan," kata Asep di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat dikutip Antara, Kamis, 27 Januari.

Selain dibubarkan, menurutnya seluruh aset milik Herry termasuk yayasan tersebut juga dituntut untuk disita sebagai hukuman. Nantinya aset yang disita itu dituntut untuk dilelang dan hasilnya diberikan kepada korban.

"Kami minta agar yayasan, aset terdakwa itu dirampas oleh negara dengan dilelang, hasilnya digunakan untuk restitusi terdakwa dan biaya sekolah dan kehidupan anak anak," kata dia.

Asep mengatakan kejaksaan pun masih menuntut hukuman yang sama untuk Herry, yakni hukuman mati meski pemimpin pesantren itu meminta pengurangan hukuman. Menurut Asep hukuman mati itu telah diatur dalam undang-undang.

"Tuntutan mati diatur dalam peraturan perundang-undangan, artinya secara legal ketika kami melakukan suatu tuntutan itu diatur dalam suatu ketentuan regulasi," katanya.

Selain hukuman mati, Herry juga dituntut untuk dihukum kebiri kimia. Kemudian Herry juga dituntut membayar denda sebesar Rp500 juta dan juga dituntut membayar restitusi kepada para korban sebesar Rp331 juta.

Herry dituntut bersalah sesuai dengan Pasal 81 ayat (1), ayat (3) dan (5) jo Pasal 76D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama.