Dugaan Korupsi dan Pelanggaran HAM, Golkar Minta Aparat Tindak Tegas Bupati Langkat
Rumah Bupati Langkat/Foto: VOI

Bagikan:

JAKARTA - Kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin-angin menjadi perhatian publik setelah ditemukan dalam penggeledahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK diketahui telah menangkap Terbit terkait dugaan kasus tindak pidana korupsi pekan lalu di wilayah kabupaten Sumatera Utara itu. 

Menyikapi hal itu, Partai Golkar sebagai partai yang menaungi Bupati Langkat non-aktif Terbit Rencana Perangin Angin bakal mengambil langkah tegas jika benar ditemukan adanya unsur pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Yakni pemberhentian sebagai kader partai beringin. 

"Kalau ada hal-hal yang sampai melanggar hak asasi manusia, tentunya Golkar akan bertindak tegas untuk memberhentikan yang bersangkutan," ujar Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Adies Kadir, Rabu, 26 Januari. 

Saat ini, lanjut Adies, Partai Golkar menyerahkan seluruh kasus yang menimpa Terbit kepada lembaga penegak hukum. Termasuk penyelidikan kerangkeng manusia yang disebut sebagai tempat rehabilitasi bagi pengguna narkoba.

"Kita, tidak sudah masuk lagi ke ranah hukum ya, karena sudah masuk bagian daripada penegakan hukum dari KPK dan kepolisian. Kita tidak bisa masuk untuk mengintervensi," jelas Adies.

Wakil Ketua Komisi III DPR itu menyatakan, Partai Golkar menjunjung tinggi hak asasi manusia dan mendukung segala proses penyelidikan terhadap kasus korupsi Terbit dan kerangkeng manusia miliknya.

"Jadi kita minta aparat penegak hukum secara tegas saja, kalau memang ada hal-hal yang memang menyalahi aturan hukum, ya ditindak," tegas Adies. 

Sementara itu Migrant Care dan juga sejumlah LSM pemerhati hak asasi manusia lainnya menduga kerangkeng itu adalah modus perbudakan, dan dalih tempat rehabilitasi narkoba hanya kedok untuk menghindari hukuman.

Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care, Anis Hidayah mengatakan hal tersebut sebab sejauh ini pihak BNN belum membenarkan bahwa kerangkeng digunakan untuk keperluan rehabilitasi.

Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), pelaku praktik perbudakan modern bisa dipenjara maksimal 15 tahun penjara dan denda minimal Rp120 juta maksimal Rp600 juta. Migrant Care menduga Bupati Langkat menghindari hukuman ini dengan dalih menggunakan kerangkeng sebagai tempat rehabilitasi narkoba.

"Jadi kerangkeng itu tetap bentuk perbudakan modern, meski katanya buat rehabilitasi narkoba," tutur Anis saat dihubungi, Rabu, 26 Januari. 

 Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan menemukan ruangan mirip kerangkeng saat menggelar operasi tangkap tangan di Rumah Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin Angin. Kerangkeng itu ditemukan saat tim penyelidik KPK menggelar operasi tangkap tangan pada Rabu, 19 Januari.

"Penyelidik KPK memang menemukan 2 ruangan yang terlihat seperti ruang berkerangkeng," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron lewat keterangan tertulis, Selasa, 5 Januari.

Ghufron mengatakan kerangkeng itu ditemukan di area dalam pagar rumah Terbit. Tim KPK menyambangi rumah tersebut untuk menangkap Terbit. Namun, tim tak menemukan Terbit yang diduga sudah kabur.

Menurut Ghufron, tim KPK akhirnya hanya mendokumentasikan ruang kerangkeng tersebut. Tim meninggalkan lokasi untuk mengejar Terbit. Menurut KPK, Terbit akhirnya menyerahkan diri ke tim KPK di kantor polisi setempat.

Migrant Care melaporkan keberadaan kerangkeng ini ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Organisasi masyarakat sipil itu menduga kerangkeng digunakan untuk mengurung pekerja kelapa sawit milik terbit.

Belakangan, menurut kepolisian kerangkeng itu bukan dipakai untuk mengurung pekerja. Kepolisian menyatakan kerangkeng itu dipakai untuk menampung orang kecanduan narkoba dan kenakalan remaja.

Ghufron mengatakan lembaganya akan terbuka bekerja sama dengan penegak hukum lain tentang keberadaan kerangkeng dan dugaan perbudakan. KPK, kata dia, akan memfasilitasi bila lembaga lain ingin memeriksa Terbit.

"Jika membutuhkan keterangan dan dokumentasi yang KPK miliki," kata dia