Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga ada upaya penggiringan opini setelah mereka menangkap Wali Kota Bekasi nonaktif Rahmat Effendi alias Pepen dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu, 5 Januari lalu.

Dugaan ini muncul setelah anak Pepen, Ade Puspitasari tak terima ayahnya ditangkap karena terjerat dugaan suap pengadaan barang dan jasa serta lelang jabatan di Pemerintah Kota Bekasi, Jawa Barat. Bahkan, dia menduga ada operasi khusus di KPK untuk mengincar partai berlambang beringin tersebut.

Pernyataan Ketua DPD Golkar Kota Bekasi ini terekam dalam sebuah video yang viral di media sosial. Hanya saja, saat itu Ade tak memerinci siapa pihak yang disebut mengincar kader partai tersebut.

"Kuning ini sedang diincar. Kita tahu sama tahu siapa yang mengincar kuning. Tapi nanti di 2024, jika kuning koalisi dengan oranye, matilah warna lain," ungkapnya seperti dikutip dari video viral tersebut.

Menanggapi ini, Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Firki mengatakan ada pihak yang dengan sengaja berupaya menggiring opini. Dia juga mengatakan pihak tersebut telah memberikan opini kontraproduktif dan merugikan masyarakat.

"Masih saja ada pihak-pihak yang mencoba menggiring opini kontraproduktif dalam proses penegakan hukum yang tengah dilaikan KPK," kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri kepada wartawan, Senin, 10 Januari.

Dia mengatakan narasi semacam ini sebenarnya bertolak belakang dengan fakta hukum yang ada dan menimbulkan kekhawatiran. Sebab, bukan tak mungkin masyarakat malah mendapatkan informasi yang keliru terkait OTT yang menjerat Pepen.

Lagipula, Ali memastikan kegiatan tangkap tangan yang dilakukan dan menjerat Pepen sudah sesuai azas dan norma hukum yang berlaku.

"Dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya KPK berpedoman pada azas-azas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, proporsionalitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia," tegasnya.

"Sehingga KPK tidak mungkin tidak mungkin tebang pilih dalam melakukan penegakan hukum pemberantasan korupsi," imbuh Ali.

KPK dipastikan akan fokus mengusut dugaan penerimaan suap terkait pengadaan barang dan jasa serta lelang jabatan yang dilakukan Pepen. Langkah ini, menurut Ali, sekaligus untuk membuktikan peran politikus Partai Golkar tersebut dalam kasus ini.

"Sehingga nantinya, Majelis Hakim lah yang akan memutus sesuai kewenangan dan independensinya, apakah pihak-pihak dimaksud dalam OTT atas perkara korupsi pegadaan barang dan jasa serta lelang jabatan di Kota Bekasi ini terbukti bersalah atau tidak," ujarnya.

Pernyataan senada juga disampaikan oleh Ketua KPK Firli Bahuri. Dia menegaskan tangkap tangan dan penetapan Pepen sebagai tersangka tidak bermuatan politis.

Penangkapan tersebut, sambung Firli, sudah sesuai dengan barang bukti yang ada. "Seseorang menjadi tersangka bukan karena ditetapkan KPK, bukan asumsi, bukan juga berdasarkan opini atau kepentingan politik," tegas Firli.

Dia memastikan KPK tidak akan terlibat dalam politik. Apalagi, komisi antirasuah merupakan lembaga negara dalam rumpun eksekutif yang independen dan pelaksanaan tugas serta kewenangannya tidak terpengaruh pada kekuasaan manapun.

"Mohon dipahami, sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya dan/atau keadannya berdasarkan bukti permulaan yang cukup patut diduga sebagai pelaku tindak pidana," kata eks Deputi Penindakan KPK tersebut.

Diberitakan sebelumnya, KPK menetapkan Rahmat Effendi atau Pepen bersama delapan orang lainnya sebagai tersangka dugaan suap pengadaan barang dan jasa serta lelang jabatan di Pemerintah Kota Bekasi.

Pepen bersama M. Bunyamin yang merupakan Sekretaris Dinas Penanaman Modal dan PTSP Kota Bekasi; Lurah Jati Sari, Mulyadi alias Bayong; Camat Jatisampurna, Wahyudin; dan Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan Kota Bekasi, Jumhana Lutfi ditetapkan sebagai penerima suap.

Sementara Direktur PT MAM Energindo, Ali Amril; swasta bernama Lai Bui Min; Direktur PT Kota Bintang Rayatri, Suryadi; dan Camat Rawa Lumbu, Makhfud Saifudin ditetapkan sebagai pemberi suap.

Sebagai penerima suap, Pepen dan empat orang lainnya disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Sementara para pemberi disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf f serta Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.