JAKARTA - Pendapat berbeda atau dissenting opinion hakim anggota, Mulyono Dwi Purwanto, di kasus korupsi pengelolaan dana PT Asabri (Persero) soal kerugian negara dinilai tepat secara teori dan konsep pengaturan.
Hal ini disampaikan pakar hukum administrasi negara, Dian Puji Nugraha Simatupang. Dia bahkan mengatakan, metode total lost untuk penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan BPK terkesan aneh dan tak sesuai.
"Apa yang disampaikan hakim Mulyono itu sangat tepat secara teori dan juga dari sisi konsep pengaturan kerugian negara karena memang harus secara nyata dan pasti. Sehingga dissenting opinion ini seperti oase di dalam suatu padang gurun pemberantasan korupsi yang tidak berkepastian dan tidak punya konsep yang jelas," kata Dian kepada wartawan, Sabtu, 8 Januari.
Dian juga mengungkap metode total lost tak lagi dikenal sejak adanya Pasal 39 PP Nomor 38 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Negara atau Daerah terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain.
Pasal ini, sambungnya, menyebut nilai kekurangan penyelesaian kerugian negara atau daerah dilakukan berdasarkan nilai buku atau nilai wajar atas barang yang sejenis.
Sehingga, jika nilai buku maupun nilai wajar dapat ditentukan maka nilai barang yang digunakan adalah nilai yang paling tinggi di antara kedua nilai tersebut.
Lebih lanjut, Dian menilai keputusan hakim tepat karena BPK harusnya merujuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 248 Tahun 2016. Aturan ini, kata dia, mengatur soal pengelolaan jaminan TNI-Polri saat mengidentifikasi ada tidaknya kerugian negara dalam kasus Asabri.
Dia menyinggung sebenarnya ada aturan yang lebih tinggi dan menegaskan perhitungan kerugian keuangan negara harus berdasarkan kerugian nyata dan pasti. Aturan ini, terdapat dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Putusan Mahkamah Konstitusi.
"Apalagi adanya PP 38 tahun 2016 tidak bisa dihitung dengan total lost karena menurut UU 1 tahun 2004 dan putusan MK kerugian negara itu harus nyata dan pasti," kata Dian.
"Jadi tidak ada lagi total lost, tidak ada partial lost. Jadi nilai kekurangan atau kerugian betul-betul nilai buku atau nilai nyata. Nilai nyata itu misalnya saya kehilangan Rp200 ribu di kas, maka Rp 200 ribu itu saja (yang disebut kerugian, red) jangan kemudian Rp200 ribu ditambah yang lain atau kalau uang itu digunakan bertambah menjadi Rp500 ribu, tidak mungkin seperti itu," imbuhnya.
BACA JUGA:
Di sisi lain, Dian juga menilai perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus Asabri oleh BPK tampak aneh. Alasannya ketika penjumlahan kerugian keuangan negara dari sejumlah terdakwa, totalnya melebihi dari yang didakwakan.
“Tidak mungkin kemudian kalau dijumlah berapa, ditotal-total ternyata lebih yang didakwakan, jadi membingunkan. Jadi, jumlahnya saja kelebihan, dari sisi-sisa masing-masing para pihak yang didakwakan tidak jelas juga berapa kemudian dia itu merugikan atau menimbulkan kekurangan uang berapa. Itu tidak sesuai dengan teorinya," jelas Dian.
Lebih jauh, dirinya mengungkapkan dua makna penting dari dissenting opinion dari Hakim Mulyono dalam kasus Asabri. Salah satunya yakni dissenting opinion menjadi dasar kuat bagi para pihak untuk mengajukan banding maupun kasasi terhadap putusan pengadilan.
“Kemudian yang kedua, apa yang penting sebenarnya ini, baik BPK, penyidik atau siapapun yang bertugas menghitung kerugian negara harus betul-betul mengikuti dan sesuai peraturan perundang-undangan," kata Dian.
"Kalau tidak mengikuti peraturan, buat apa adanya penegakan hukum karena penegakan hukum konsepnya harus berdasarkan hukum. Dasar hukum perhitungan kerugian negara harus nyata dan pasti. Jadi tidak bisa kemudian saya mengestimasikan, mengasumsikan sehingga hakim Mulyono mengatakan itu masih potensi,” sambungnya.
Sebagai informasi, hakim Mulyono menilai kerugian negara senilai Rp22,788 triliun berdasarkan laporan BPK masih berupa potensi dan bukan kerugian negara riil.
"Metode audit yang digunakan untuk menghitung perhitungan kerugian negara adalah 'total loss' dengan modifikasi yaitu menghitung selisih uang yang dikeluarkan PT Asabri untuk pembelian instrumen investasi yang tidak sesuai aturan hukum dikurangi dengan dana yang kembali dari investasi per 31 Desember 2019. Sedangkan menurut standar akuntansi per tanggal tertentu, posisi laba atau rugi adalah 'unrealize' karena belum terjadi atau rill terjual berdasarkan harga perolehan sehingga masih potensi," kata Mulyono.