JAKARTA - Pendapat berbeda (dissenting opinion) dari hakim anggota, Mulyono Dwi Purwanto, di kasus korupsi pengelolaan dana PT Asabri (Persero) soal kerugian negara sebesar Rp22,788 triliun masih potensi atau bukan riil merupakan langkah yang tepat. Sebab, perhitungan kerugian negara haruslah nyata atau pasti.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga Nur Basuki Minarno menilai pendapat dari hakim Mulyono telah sesuai aturan. Terlebih, pendapat itupun bakal menjadi catatan saat persidangan tahap selanjutnya atau pengadilan banding dan pengadilan kasasi.
“Kalau argumentasinya (Hakim Mulyono, red) seperti itu dari sisi aturannya itu benar. Dissenting opinion ini penting untuk menjadi catatan bagi pengadilan di atasnya,ujar Nur kepada wartawan, Kamis, 6 Januari.
Selain itu, kata Nur, merujuk pada Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) frasa ‘dapat’ dalam kalimat dapat merugikan keuangan negara sudah dinyatakan tak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sehingga kerugian negara dalam kasus korupsi haruslah kerugian keuangan negara yang riil, nyata, dan pasti.
“Jadi, kerugian negara itu harus riil terjadi, harus nyata dan pasti, tidak boleh hanya potensial kerugian, itu sebetulnya sama maknanya dalam Pasal 1 angka 22 dari UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyebutkan kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai,” ungkapnya.
Nur pun beranggapan pendapat berbeda dari hakim Mulyono dikarenakan perhitungan kerugian negara yang dihitung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak konsisten.
Alasannya, di satu sisi perhitungan BPK mendasari pada pembelian dana investasi oleh Asabri yang tidak sesuai prosedur. Sementara di lain sisi BPK tetap menggunakan pengembalian efek yang diterima dari reksadana yang dibeli secara tidak sah dalam perhitungannya kerugian keuangan negara.
“Artinya di sini, BPK itu menggunakan 2 parameter yang berbeda. Jadi, BPK mengatakan pembelian dana investasi tidak sesuai dengan prosedur, akan tetapi di dalam perhitungannya itu menggunakan pengembalian efek yang diterima dari reksadana yang dibeli secara tidak sah. Sehingga Anggota Majelis Hakim Mulyono menilai itu belum menunjukkan kerugian negara yang secara nyata ada, tetapi itu hanya menunjukkan potensial loss saja,” papar Nur.
BACA JUGA:
Terlepas dari hal itu, Nur enggan berkomentar lebih jauh soal proses dan mekanisme penghitungan kerugian negara dalam kasus Asabri. Sebab, dia bukan seorang ahli dalam hal tersebut.
Tetapi, perhitungan kerugian negara haruslah pasti karena dapat berpengaruh kepada kepastian hukum dan keadilan kepada terpidana. Semisal, beban pengembalian kerugian keuangan negara tersebut.
“Saya tidak mengerti bagaimana cara menghitung kerugian keuangan negara, karena saya bukan akuntan. Tetapi saya menggarisbawahi sebagaimana pendapat hakim Mulyono itu, karena di dalam pembuktian Pasal 2 dan 3 UU Tipikor itu harus ada kerugian negara secara nyata dan pasti, akan tetapi perhitungan yang dilakukan BPK itu, itu menggunakan total loss. Itu yang disoroti Hakim Mulyono,” tegas dia.
“Kerugian keuangan negara tidak boleh potensial loss, karena itu nantinya akan menjadi beban bagi terpidana untuk mengembalikan ganti kerugian kepada negara. Jadi, harus nyata dan pasti jangan sampai kerugian negara yang nyata hanya Rp 5 miliar, lalu jadi Rp 5 triliun, mampus terpidananya mengembalikan, padahal bukan sebesar itu yang dia nikmati,” sambungnya.
Ada pun, hakim Mulyono menilai kerugian negara senilai Rp22,788 triliun berdasarkan laporan BPK masih berupa potensi dan bukan kerugian negara riil.
"Metode audit yang digunakan untuk menghitung perhitungan kerugian negara adalah 'total loss' dengan modifikasi yaitu menghitung selisih uang yang dikeluarkan PT Asabri untuk pembelian instrumen investasi yang tidak sesuai aturan hukum dikurangi dengan dana yang kembali dari investasi per 31 Desember 2019. Sedangkan menurut standar akuntansi per tanggal tertentu, posisi laba atau rugi adalah 'unrealize' karena belum terjadi atau rill terjual berdasarkan harga perolehan sehingga masih potensi," kata Mulyono.