JAKARTA - Israel memiliki sarana dan kemampuan untuk menyerang program nuklir Iran dengan sukses besok jika diperlukan, kata Mayor Jenderal Tomer Bar, calon komandan Angkatan Udara negara itu.
Berbicara kepada Yediot Aharonot, Bar, yang memimpin Direktorat Desain Angkatan, menyebut militer Israel (IDF) akan menyerang fasilitas nuklir Teheran, jika pembicaraan antara Iran dengan negara-negara kekuatan utama dunia (P5+1) berakhir buntu.
"Saya harus berasumsi itu akan terjadi dalam hidup saya, dan bahu saya sudah bersiap untuk beban tanggung jawab. Tidak mungkin kami akan beroperasi di sana, 1.000 kilometer dari sini, dan saya akan kembali ke rumah tanpa bisa menyelesaikan misi," ujarnya kepada media itu seperti dikutip dari Sputnik News 23 Desember.
Jenderal Bar menolak laporan yang menyebutkan, kurangnya dana menghambat misi operasional IDF.
"Kami memperlengkapi diri dengan F-35. Kami membeli ribuan pencegat Iron Dome untuk pertahanan multi-layer," terangnya.
Komandan itu juga menyinggung laporan pekan lalu dari The New York Times yang mengatakan, Amerika Serikat telah menolak permintaan Israel untuk mempercepat pasokan pesawat pengisian bahan bakar Boeing KC-46 Pegasus.
Jet-jet itu akan dikirim berdasarkan kesepakatan senilai 2,4 miliar dolar AS yang ditandatangani Amerika Serikat dan Israel tahun lalu. Menurut surat kabar itu, Israel menganggap pesawat itu 'penting untuk menyerang fasilitas nuklir Iran. Karakteristik KC-46 memungkinkan pesawat untuk mengisi bahan bakar tiga jet sekaligus dalam empat menit.
Bar menggarisbawahi, dia tidak tahu mengapa Gedung Putih menolak permintaan Israel, tetapi menekankan dia belum kehabisan kemungkinan mendapatkan setidaknya dua (jet) sebelumnya.
Untuk diketahui, hubungan Israel dan Iran tegang sejak Revolusi 1979 di Teheran. Pada saat itu, pemimpin tertinggi Ayatollah Khomeini mengambil sikap anti-Israel yang tajam, memutuskan semua hubungan dengan tetangganya. Selama bertahun-tahun, kedua belah pihak telah terlibat dalam serangan balas dendam, tetapi telah menghindari konflik militer langsung.
Hubungan antara kedua belah pihak semakin memburuk karena program nuklir Iran, yang dianggap Israel sebagai ancaman bagi keberadaannya. Pada 2015, Iran, Inggris, China, Prancis, Jerman, Rusia, dan Amerika Serikat menandatangani Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), yang umumnya dikenal sebagai Kesepakatan Nuklir 2015. Berdasarkan perjanjian tersebut, Iran menghentikan program nuklirnya dengan imbalan pencabutan sanksi ekonomi dan embargo senjata.
Israel sangat menentang JCPOA, dengan mantan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berpendapat, kesepakatan itu "tidak menghalangi jalan Iran" untuk (mengembangkan bom nuklir), tetapi malah membuka jalan Iran untuk itu.
Donald Trump, Presiden Amerika Serikat pada tahun 2017, juga mengkritik keras kesepakatan itu dan pada tahun 2018 menarik negara itu dari perjanjian itu meskipun ada peringatan dan kritik dari penandatangan lainnya.
BACA JUGA:
Setelah menjabat, Presiden AS yang baru Joe Biden menyuarakan niatnya untuk menghidupkan kembali JCPOA. Namun, keinginan pribadi Presiden Biden, agak terhambat oleh Gedung Putih yang mendorong lebih banyak pembatasan untuk dimasukkan dalam perjanjian.
Awal pekan ini, penasihat keamanan nasional AS Jake Sullivan tiba di Israel untuk mengadakan pembicaraan dengan Perdana Menteri Israel Naftali Bennett mengenai kesepakatan nuklir Iran.